February 20, 2009

Mencari Eksistensi dan Jati Diri Sastra Cyber

*Tulisan ini pernah saya publish di facebook saya: http://www.facebook.com/home.php?ref=home#/note.php?note_id=48289104787*

Sastra cyber, kenapa bukan sastra internet?
Dari segi bahasa, tidaklah beda, keduanya (cyber & internet) bukan berasal dari Bahasa Indonesia asli melainkan istilah serapan asing bidang teknologi, itu saya setuju :-)

Internet memiliki makna yang sangat teknis, secara harfiah, internet (kependekan dari kata interconnected-networking) ialah rangkaian komputer yang terhubung di dalam beberapa rangkaian. Internet (huruf 'I' kapital) ialah sistem komputer umum, yang berhubung secara global dan menggunakan TCP/IP sebagai protokol pertukaran paket (packet switching communication protocol). Rangkaian internet yang terbesar dinamakan Internet (huruf 'I' kapital). Cara menghubungkan rangkaian dengan kaidah ini dinamakan internetworking.

Cyber, lebih mengacu kepada tindakan, aktivitas & hal-hal yang berhubungan atau menggunakan media Internet. Sebut saja: cyber crime, cyber law, cyber sex, cyber soft, cyber media atau cyber school.

Sastra cyber - menurut kaidah pembentukan istilah Bahasa Indonesia mestinya ditulis cyber bukan saiber-, pada Simposium Budaya Internasional mengenai budaya media di Universitas Leiden yang diselenggarakan atas prakarsa Verbal Art in The Audio-Visual Media of Indonesia (VA-AVMI), April 2001, Veven Sp. Wardhana menorehkan catatan sebagai berikut: maknanya, harus ada kreativitas untuk menyiasati media yang berbeda. Dalam bahasa Faruk, sastra di internet harus berbeda dengan sastra cetak yang konvensional karena medianya juga berlainan. Yang ada selama ini sebatas memindahkan sastra cetak ke sastra di internet.

Penggunaan istilah sastra cyber sendiri sudahlah jelas dan gamblang menyatakan jenis media yang dipakai: media cyber, seperti halnya dengan istilah sastra koran, sastra majalah, sastra buku, sastra radio, sastra dinding, dan sebagainya.Jadi, sastra cyber ataukah sastra internet? Saya akan gunakan istilah sastra cyber dalam keseluruhan note ini, yang saya maknai sebagai sastra di internet.

***

Dunia telah membuka peluang bagi sastrawan media non-cetak sejak Winston Churchill mengantongi hadiah Nobel untuk sastra berkat pidato-pidato radionya, pada era 1940-an. Dalam perkembangannya sastra radio dan sastra televisi berkembang cukup bagus meskipun kurang digarap di Indonesia. Nilai-nilai puitis, pengolahan bahasa dan apresiasi sastra dapat dimunculkan dalam berbagai bentuk. Stasiun televisi NHK, di Jepang misalnya punya program apresiasi haiku tiap minggu. Stasiun televisi BBC Inggris juga banyak memproduksi sajak-sajak pendek atau memperkenalkan sastrawan dalam tayangan. Begitu pula radio Jerman dan lain-lain.

Sebelum munculnya sastra cyber, dunia sastra Indonesia sendiri telah memiliki beberapa kekhasan yang terkait dengan keberadaan teknologi media. Ketika biaya publikasi semakin mahal, begitu juga dengan keberadaan sastra koran yang kemudian dirasa telah membangun hegemoninya sendiri, maka sastra cyber pun datang.

Pada hari Rabu, 9 Mei 2001, sebuah buku berjudul Graffiti Gratitude diterbitkan oleh Yayasan Multimedia Sastra. Buku yang cukup menghebohkan dunia kesusateraan Indonesia itu dapatlah kita sebutkan sebagai momentum awal berkembangnya sastra cyber di tanah air. Sejak saat itu, melalui situs www.cybersastra.net, beragam blog, milis dan situs pertemanan, sastra cyber semakin berkembang dan mendapat tempatnya hampir di semua kalangan, bahkan berhasil membentuk jaringan antar sastrawan di seluruh tanah air baik yang ada di dalam maupun luar negeri termasuk sastrawan malaysia. Beberapa bahkan menjalin hubungan akrab baik sebagai teman maupun teman hidup :-)

Sastra cyber merupakan revolusi, mengingat internet itu sendiri menjadi revolusi media setelah penemuan mesin cetak Guttenberg juga setelah kehadiran radio dan televisi.

Komunitas-komunitas sastra cyber mulai muncul, memanfaatkan teknologi seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan juga blog, internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua orang boleh memajang karyanya, dan semua boleh mengapresiasinya.

Eksistensi & Jati Diri Sastra Cyber

Didalam sastra cyber, kita melihat puluhan bahkan ratusan orang berusaha menjadi penyair, menyamai atau mengalahkan nama-nama yang terlanjur menjadi berhala di dunia kesusasteraan nasional. Mereka ingin bicara apa saja, menulis apa saja, karena dalam dunia sastra cyber, huruf bukanlah segala-galanya. Dilayar monitor komputer, kita bisa melihat baris-baris muncul dengan animasi huruf yang indah seolah menari, diiringi semburan warna-warni latar belakang suara ombak, nyanyian burung, atau vokalisasi dan musikalisasinya. Ini merupakan peluang yang perlu dilihat dan dimanfaatkan oleh kita semua selaku penggiat sasta cyber.

Ironisnya, tantangan di Indonesia justru muncul dari dunia sastra sendiri. Sastra cyber, dengan sifatnya yang bebas itu pernah dituding oleh beberapa pihak sebagai sekadar ajang main-main sehingga karya-karyanya pastilah tak bermutu. Meski demikian, seiring berjalannya waktu, saat ini eksistensi karya sastrawan cyberpun sudah mulai makin diakui, terutama oleh masyarakat, walau untuk apresiasi mungkin masih dipandang sebelah mata oleh sebagian kelompok mapan.

Namun, benarkah dunia sastra cyber itu eksklusif dalam arti menutup pintu rapat-rapat bagi orang luar untuk masuk? Masuklah ke dunia cyber, jangan hanya mengintip, maka Anda akan tahu betapa inklusifnya dunia sastra cyber itu. Bandingkan saja dengan komunitas-komunitas sastra di darat atau eksklusivitas prestise sebuah halaman budaya di suatu koran misalnya. Egalitarian, kebebasan individu, demokrasi yang ditawarkan media cyber serta kelapangannya dalam mengakomodasi segala jenis manusia dan ragam karya di dalamnya tanpa adanya pintu-pintu terkunci jelas tak bisa dikatakan eksklusif, justru sebaliknya.

Semua sastrawan secara individual harusnya terus bergulat menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun yang dikuasainya. Isolasi ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang digunakan tak akan membawa manfaat apa pun, justru kontraproduktif. Semestinya sastrawan bisa bergerak di segala media, baik cetak maupun elektronik. Apakah seorang penyair yang biasa menulis puisi di atas kertas wangi lantas akan turun mutu puisinya ketika ia menuliskannya di atas dinding toilet? Kalau seorang penyair hanya bisa mengungkapkan kegelisahan remaja mencari jati dirinya atau kecengengan romatis-emosional tentu bukan karena medianya melainkan karena baru sejauh itulah perjalanan puitis penyair tersebut.

Menggeneralisasikan kualitas karya sastra cyber hanya dari satu-dua karya ditambah dengan apriori terhadap nama-nama penulisnya yang belum dikenal di dunia sastra sungguh tidak objektif dan semena-mena. Puisi tetaplah puisi, baik ia ditulis oleh seorang penyair sufi maupun seorang atheis pemabuk, seorang sarjana sastra maupun seorang ibu rumah tangga. Di dunia sastra cyber yang bukan penyair pun boleh ambil bagian. Sejauh ini belum ada satupun studi kritis atas karya-karya sastra cyber yang tak terhitung jumlahnya itu. Apakah semua karya tersebut rendah kualitasnya? Pertanyaan tersebut bisa juga berbunyi: apakah semua karya yang dimuat di koran dengan seleksi ketat redaktur itu (dijamin) tinggi kualitasnya?

Dunia sastra cyber memang bebas. Sebagai konsekuensinya, terhadapnya tak bisa dipakaikan satu acuan nilai saja. Sebagai dunia dengan ragam nilai, ragam kriteria, ragam standar, sastra cyber tak bisa dilihat dengan satu kacamata saja. Pembaca cyber yang sudah merasakan dan memahami psikologi dunia maya umumnya terbiasa dengan cara pandang multifaset seperti itu dan karenanya mereka cukup kritis memilih apa yang ingin mereka baca atau mereka lewati. Mungkin kini saatnya sastrawan terutama kritikus sastra kita membiasakan diri untuk menyediakan lebih dari satu kacamata, agar tidak mudah apriori dalam membaca hal-hal tersebut.

Belum terdeteksinya minat para akademisi, dalam hal ini para guru besar sastra, atau para kritikus sastra Indonesia, untuk terlibat dalam sebuah perbincangan konstruktif tentang sastra cyber. Agak sulit membayangkan di Indonesia akan bisa terjadi sebuah diskusi hangat yang mencerahkan antara figur-figur di kubu narratology semacam George Landow atau Katherine Hayles di satu pihak yang khatam ilmu sastra era Victoria namun juga intens mengamati perkembangan sastra digital, menghadapi para guru besar - dan calon guru besar- di kubu ludology yang berada di usia 40-an seperti Espen Aarseth atau Nick Montfort yang melewatkan masa remaja mereka bersama Lara Croft dari Tomb Raider.

Maju Terus Sastra Cyber!


Dikutip dari berbagai sumber di seantero jagat cyber :-)
Coba aja bandingkan puyengan mana, baca note saya ataukah baca link-link berikut ini:
1. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0410/04/hib02.html
2. http://en.wikipedia.org/wiki/Narratology
3. http://en.wikipedia.org/wiki/Game_studies
4. http://en.wikipedia.org/wiki/George_Landow_(professor)
5. http://en.wikipedia.org/wiki/N._Katherine_Hayles
6. http://en.wikipedia.org/wiki/Espen_J._Aarseth
7. http://en.wikipedia.org/wiki/Nick_Montfort
8. http://en.wikipedia.org/wiki/Lara_Croft

hehehe...

Comment Teman-Teman yang Menyempurnakan Tulisan ini:

Written about a week ago - Comment

Bumikelana Esfieana Elang at 11:39pm February 8
Whaaaaa.. keren nih..
Nuruddin Asydhie di tag deh Anita..

Dia pasti baca..Iya, memang bukan itu lagi intinya, melainkan tanda kutip yang ada pada tajuk di kolom koran Kompas tempo hari. Yang sempat buat heboh sebagian warga sastra FB, sedikiiiit...........
Sudah ada di komen catatan na itu.. :)

Hudan Hidayat at 11:48pm February 8
anita yang baik, minta izin mengutip tulisanmu ini untuk makalah yang kupersiapkan untuk seminar di malaysia itu ya. Semoga aku bisa memberikan komen yang memadai beok untuk tulisanmu ini. Salam hormatku padamu.Hudan

Bumikelana Esfieana Elang at 11:49pm February 8
*tuhkan* :D

Anita Lindawaty SSi MSi at 11:57pm February 8
@ hudan: waahh... silahkan aja uda hudan, lah wong saya juga dapet mengutip kok hehe... gara2 penasaran, sekedar mencoba figure out what's going on :-)

@ Bumikelana: ho oh Na... cepat sekali dirimu mampir, makasih :-)aku jadi begadang juga nih hihihi... tapi gak bakal sampe pagi lah, emangnya batman ***lirik yuswan***

Bumikelana Esfieana Elang at 12:01am February 9
Cak Yus itu lagi nemenin dakyuh nangkep maling, Anita..

Yang kutip2 ini lumayan berbicara.. Bagus.. Semangatmu keren..
Karena engkau, aku jadi yakin, An..
*yakin apa? nanti lah ya* :)

Hudan Hidayat at 12:03am February 9
kamu bukan hanya mengutip, tapi meneguhkan pendirian tentang sastra siber kukira anita. Dengan mempertanyakan sastra adalah sastra, menoho mereka yang mapan, dan yang paling kusuka: maju terus. Nah ini kan kita banget secara idih secara hehe kita yang gemar melihat kehadiran tiap nilai tergelar dalam semangat duduk sama tinggi beridir sama rendah ah maju terus anita. Ajak jagoan kecilmu joshua bersama. Tu kan kta na hehe

Anita Lindawaty SSi MSi at 12:12am February 9
@ hudan: Nah, itu dia tuh uda, strata & kasta dalam kesusastraan negeri ini dibikin atas dasar apa? itu saya yg gak paham... kalo kasta di bali (dalam agama hindu) sih saya ngerti hihihi...

@ Bumikelana: wa duh... nangkep maling dimana? ceritanya lagi pada ronda nih ampe pagi, silahkan diteruskan deh, saya permisi... :D si yu tumorrow :-) ***si yu tumorrow nya pake style nya sapa yah haha***

Yuswan Taufiq at 12:16am February 9
Wuaa...namaku dilirik nih..hahahaha.. :-P
*ssstttt..banyak yg jd Batman lho Nit di cyber ini* :D

Wah..daku hanya menikmati saja Nit..secara daku nih masih gapwas-was (gagap wawasan-waspada) hehehe

Hidup Anita!
*eh..mank slama ini gak ya?* hehehe

Maju terus sastra cyber....*halah...telat*

(malingnya dah lari ke mana ya Na?)^^

Bumikelana Esfieana Elang at 12:23am February 9
Mbuh Cak.. Dc2 melulu ini.. Kawanku wis off.. Kota Malang lagi angin kencang.. :((

Yuswan Taufiq at 12:25am February 9
Lhaaaa...kok di sini jadi tempat ngobrol Na?
*ntr digampar orang2 loh Na* hehehe

Gut nait Nit...hehehehehe

Bumikelana Esfieana Elang at 12:29am February 9
Halah.. Iya2.. Pamit ya Anita darling.. Muah..
*nang kandangku apa kandangmu Cak? langsung aja ya?*

Andreas T Wong at 12:34am February 9
huhuhuhuraaaaa... yipppy..piiye.... rame-rame ngerumpiku hanya menikmati... yang jelas dunia maya ini bergerak lebih cepat dari orang/pakar yang mengupasnya.. belum selsai dia seleksi satu besok sudah berhamburan seribu.... penikmat disajikan jajanan sesuai selera..... hehehe...
tu wa ga pat... matuk matuk wajah gawat kena ketupa.... hehehe

Justin Chandra at 1:23am February 9
Menurut anita, aku dapat dikatagorikan sastrawan cyber bukan?
Atau sastrawan cyber yang baru sampai tahap cinta-cintaan remaja?

Yang aku tahu, aku sastrawan hyper, bukan cyber.. Hahaha

Hudan Hidayat at 2:43am February 9
(emang siapa pengamatnya?)

Apa logis dan bijak mendesak untuk minta dibaca? Atau seperti di sebuah note terbaca olehku, tanpa angin tanpa hujan mendadak seperti orang marah memberondongkan aspirasi atau ideal sastra yang nothing, atau tiba tiba ingin mencuri perhatian dengan meneriakkan stop sastra porno (tahukan dia quran itu sendiri menceritakan adam dan hawa telanjang? Yusuf yang berkeinginan pula atas zulaikha kalau tak dicegah tuhannya?)

Ada ada saja.

Yang perlu dikejar itu mereka yang berkuasa dan jelas jelas telah membenamkan sastra indonesia ke tingkat amburadulnya segenap acuan sastra, bukan sebuah kehendak suka rela yang, sejatinya, adalah niat untuk menandingi power full dalam sastra.

Saya sendiri menulis dalam sunyi nyaris mau 15 tahun, berdiam diri mengejang dalam tubuh sendiri. Tak pernah mendesak siapapun untuk membaca.

Sesuatu akan matang dengan sendiri tanpa perlu dimatangkan.

Ada juga terlihat di mataku sikap orang tua yang hendak dilawan itu menjangkit anak anak muda di sini: belum jadi apa apa sudah pandai berdiam diri - seolah menjaga citra (atau mungkin takut dengan kekuasaan sastra yang suka membunuh itu?). Seolah ini note siapa dulu baru dengan secuil kata kata angkat bicara.

Kepada anak anak muda ini dengan cepat sekali aku akan menarik dukunganku. Bagiku tak menjadi soal game yang sedang kumainkan ini akan jadi apa nantinya, kalau apa yang kuidealkan dalam kehidupan sastra itu, belum apa apa sudah kulihat bibit bibit penyakit di orang tua yang hendak kulawan sendirian itu, ada di antara kita.

Aku sudah terbiasa sendirian dan asyik saja sendirian.

Biarlah sastra indonesia ini bermain dan dimainkan orang orang yang tak paham hidup itu sekehendak hatinya sendiri.

Hudan
(anita dan kemuning yang baik apa kabar? Deasyyyy deasykuuu)

Deasy Nathalia at 6:19am February 9
aih aih..aku disini jiyiku...he he he...maaaf baru baca...dan aku orang yang paling telat ternyata....Komentarku cuma satu...ulasanmu HEBAT !!!! canggih banget !! wah bukan bidangku deh nulis ulasan kayak gini....Kau HEBAT !!!!Maju teruuuuzzzz
@ Mas Hudan...aih aih lagi ah...

Weni Suryandari at 6:36am February 9
Juedddeeeerr!!! Sesuatu yang membuatku tertegun. Pertanyaan yang selalu menggaung di benakku. Kenapa dibilang bukan sastra, atau sastra sampah? Siapa bisa menjamin bhwa karya yang bertumbuh deras via internet ini bukan sastra? Kupikir semua punya nilai

Weni Suryandari at 6:41am February 9
dalam tingkat apresiasi penulis maupun pembaca. Ketika karya dihadapkan pada selera apresian, maka yang terjadi adalah selera individu dg tingkatannya sendiri2. Ketika karya adiluhung penyair yang dipuja dianggap luar biasa, kutengok ia. Dan yang ada

Weni Suryandari at 6:46am February 9
Adalah tak jauh beda dg karya teman2 lain yang tentunya punya makna. Hanya berbeda pada peletakan bentuk, yang seharusnya satu larik utuh ke samping, tapi ia terputus, lanjut ke bawah, begitu seterusnya. Ah. Aku suka artikelmu anita. Bang hudan, kita

Weni Suryandari at 6:51am February 9
Memang harus maju terus....apa mau berhenti pada teori2 yang kalah cepat mengedepan dengan karyanya. Wuah, ...salut aku, anita. Bang hudan....aih, kau ini kemana saja? Kangen

Anita Lindawaty SSi MSi at 9:02am February 9
@ wong: setuju satu hal denganmu bahwa belom selesai kritisi satu karya sastra, besok sudah muncul lagi seribu :-) Fenomena yg bagus dong, suatu ketika nanti pertumbuhan para kritikus juga akan berbanding lurus dengan pertumbuhan karya sastra cyber itu sendiri. Liat aja, kita tiap hari menulis sekaligus juga komentarin tulisan temen bukan? Sadar gak, sembari menulis kita berlatih jadi kritikus juga? Pada akhirnya SELEKSI ALAM akan berlaku di sini: akan ada yang tetap eksis sebagai penulis atau sebagai kritikus ataukah justru penulis sekaligus kritikus, juga tidak mustahil akan banyak yg gugur, alias mandeg.

Anita Lindawaty SSi MSi at 9:10am February 9
@ JC: Tentu saja JC sastrawan cyber, jelas2 JC publish tulisan JC di media cyber hehe... JC sudah sampai tahap apa, I don't know yet hehe, itu sih masalah proses. asalkan JC gak berhenti menulis tentu akan masuk katagori eksis :-) semalem gue berniat menjadikan satu karyamu sebagai contoh kasus, untuk melukiskan "Jati Diri" sastra cyber suatu ketika nanti. Berhubung sudah dini hari, mengingat "buruh pabrik" harus berangkat kerja pagi2 hihihi, jadi cepet2 ditutup note nya, mungkin di next note deh...

Anita Lindawaty SSi MSi at 9:26am February 9
@ deasy:aih..aih.. deasy fotomodel yg selalu berseri-seri... siapa bilang dirimu telat, lah note baru dipublish dini hari tadi kok. makasih sudah mampir hihihi aih :-) *lhooo...*

@ weni: Juedderr?!? biz nabrak apa jeng? benzol gak tuh jidat hehe...Semuanya itu kan berproses dan SELEKSI ALAM berlaku disini, kita yang menentukan pilihan, maju terus atau berhenti. Gak perlu patah semangat hanya seribu dua ribu komentar negatif tentang tulisan kita. Sesungguhnya kita cuma butuh SATU dukungan saja untuk bisa meneguhkan langkah kita untuk maju. Jika SATU dukungan itu tidak bisa kita dapatkan dari orang lain tentu bisa kita raih dari DIRI KITA SENDIRI bukan? :-)

@ hudan: setuju dengan uda hudan, kenapa mesti takut sendirian?ada banyak hal yang justru bisa kita pahami ketika sendiri hihihi...

Embie C Noer at 10:31am February 9
Maju Terus Sastra Cyber ! jargon2 macam ini khas budaya partisan dan sering bikin segalanya berarti cuma jadi gerakan linear hanya ke depan dengan segala angan-angan sama dengan di sana atau di situ, terlalu sederhana dan miskin untuk hidup di dunia cyber. kalau di sana ada american idol kita bikin indonesia idiot, begitu seterusnya. tidak boleh menolak karena menolak berarti mati dan yang ikutan berarti... dalam sastra cyber pun tentu nanti akan ada strata atawa kasta yang sama.. jadi kekurangan model awal tidak perlu terlalu bersemangat untuk dibawa ke dalam sini. tak ada yang perlu diyakinkan selain pertanyaan, pada satra cyber diskusi kapitalisme menjadi tidak relevan atau dikoreksi lagi, benarkah?

Anita Lindawaty SSi MSi at 12:01pm February 9
@ Embie: aih..aih... om embie... terimakasih sudah mampir di mari :-)Saya saat ini blom tau pasti persisnya jati diri sastra cyber itu akan seperti apa om, karena itu judul note nya 'Mencari Eksistensi & Jati Diri Sastra Cyber'. Semalam saya sempat punya sedikit visi tentang sastra cyber yg blom sempat saya muntahkan di note ini.

Komentar om embie ini manis sekali, membuat saya menela'ah kembali, merevisi dan ingin menggali lagi untuk melengkapi visi tersebut, insya allah akan saya sempatkan tulis di next note, sekali lagi makasih om embie...

Sastra cyber masih mencari Jati Diri dan akan seperti apa Eksistensi nya nanti? Sekiranya dipandang sebagai revolusi, sudah pasti akan ada benturan (kecepatan tinggi?) di sana-sini. apakah ini gerakan linier? jadi inget gerak linier di fisika (hehe), gerak linier di alam ini gak ada yg bener2 linier om, akan ada regresi, retensi bahkan turbulensi, mungkin sekali. apakah akan ada strata & kasta jg? bisa jadi! kita lihat saja nanti :-)

Justin Chandra at 12:20pm February 9
Hahaha.., jujur, walau note ini adalah jurnal ilmiah, tapi enak banget ya bacanya..Jangan2 yang ada di link itu lebih asik dibaca? Hayo.. Siapa yang mau baca?

Jorgy Ibrahim Murad at 12:42pm February 9
sastra cyber gak perlu aktualitas cetak?

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:07pm February 9
@ Jorgy: merujuk pada alinea ke-14 note ini: Semua sastrawan secara individual harusnya terus bergulat menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun yang dikuasainya. Isolasi ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang digunakan tak akan membawa manfaat apa pun, justru kontraproduktif. Semestinya sastrawan bisa bergerak di segala media, baik cetak maupun elektronik.

Jadi kalo ditanya: sastra cyber gak perlu aktualitas cetak?saya jawab: bisa YA, bisa TIDAK :-)YA, karena sastra cyber tidak membatasi ruang gerak sastrawan, jika mungkin & ada peluang karyanya yg digemari di cyber untuk dicetak, why not? Graffiti Gratitude sendiri sastra cyber yg dicetak :D

TIDAK, ini jika suatu ketika nanti visi saya tentang sastra cyber menjadi nyata, dimana karya sastra cyber hanya bisa dinikmati di media cyber tidak bisa reinkarnasi jadi satra cetak. Kenapa bisa begitu? Tentang hal ini insya allah akan saya tumpahkan di next note :-)

Nurdin Ahmad Zaky at 1:13pm February 9
Diskusi yang menarik..tak ambil kopi dulu ah biar tambah enak bacanya.

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:18pm February 9
@ JC: sebenernya ada lebih banyak link yg sempet gue buka yg gak sempet gue catet, dicari lagi gak nemu haha... Link yg ntu tujuannya untuk nambah puyeng hehe gak ding, untuk tambahan data sekaligus compare mungkin gue salah 'kutip' hehe... kan bisa CMIIW :-)

link yg pertama itu lumayan asik tuh, gue mendengar "teriakan" saut situmoang di sana hehe... *piss bang saut*

tapi kalo gue sih paling asik link terakhir, mengingat gue fan tomb rider.
Tadinya mo ajak Anakin (dart vader) yg di star wars juga haha...

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:21pm February 9
@ naz: yuk naz yuk... sambil ngupi enak neh hehe. Biz gue dah mulai puyeng neh, comment nya berat2 bikin gue serasa sedang mempertahankan skripsi di ruang sidang tugas akhir dihadapan profesor2 'killer' haha...

Jorgy Ibrahim Murad at 1:23pm February 9
bener tuh.ini ada pandangan lain. sastra maya tidak perlu "legitimasi" lewat medium cetak, dan "legitimasi cetak" tidak signifikan utk kategori sastra maya. so, in the future, ga ada lagi pertanyaan "udah berapa buku yg elo bikin?" atao "udah terbitin berapa buku?" and so on... yg menjadi patokan bagi dunia sastra maya... biarkan sastra maya hidup secara maya, dan pengembangan medium ke cetak menjadi salah satu branches saja... gmana tuh?

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:32pm February 9
Ralat comment @ Jorgy: berhubung pertanyaannya pertanyaan negasi, jadi jawaban Ya & Tidak saya ketuker alasannya hehe... maaf! kurang teliti...

dengan demikian kekeliruan sudah saya ralat. thanks...

Saut Situmorang at 1:45pm February 9
sejarah sastra cyber Indonesia itu bisa dibaca di buku kumpulan esei yang aku editorin berjudul "Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk (YMS dan Jendela, 2004).

tahun 2003 komunitas Cybersastra (Yayasan Multimedia Sastra) mengeluarkan sebuah antologi puisi multimedia dalam bentuk CD-ROM berjudul "CYBERPUITIKA" yang memakai "teknik menulis" Powerpoint. ini yang pertama di Indonesia.

satu kritik atas Note ini:

Radio Republik Indonesia alias RRI dan juga banyak radio swasta di Indonesia sudah sangat lama bahkan sampai hari ini punya program Sastra, terutama baca puisi dan cerpen. jadi radio kita gak kalah ama yang di luar sono.

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:45pm February 9
@ Jorgy: untuk saat ini? bisa jadi, why not? faktanya saat ini, banyak blog yg 'best reader' di cyber dilirik penerbit, kumpulan ceritanya menjelma jadi novel & dicetak.

Tapi, jika suatu ketika nanti, sastrawan cyber gak sebatas mumpuni dalam urusan membuat karya sastra tapi juga menguasai teknologi IT, katakanlah dia bisa bikin applied Java atau CGI untuk support karya sastranya. Maka pada era itu, sastra cyber akan punya jati diri nya sendiri, sehingga hanya enak dinikmati di media cyber, tidak bisa reinkarnasi ke media cetak lagi. Ini mungkin sekedar visi saya semata, tapi saya lihat ini mungkin sekali terjadi pada era Joshua, misalnya.semoga saja :-)

Justin Chandra at 1:46pm February 9
Saya tidak tahu teorinya, tapi jika memang benar sastra itu berperan dalam membentuk budaya dan menyeimbangkan fungsi otak kanan, maka aku adalah korban terhormat dari sastra cyber ini.

Ya terhormat, karena aku belajar mengkritisi dengan jujur, atau dengan bijak, atau lebih sering dengan asbun.Aku juga belajar menulis untuk malu-maluin diri, atau untuk jujur, atau untuk memuaskan orang lain.

(aku koq senang ya mondar-mandir di sidang tesis ini, punten ya bapak ibu doktor penguji)
pee & peace ah..

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:58pm February 9
@ saut: di alinea ke-6 saya tulisnya 'kurang digarap' bukan gak ada sama sekali hehe... anyway, thanks kritiknya juga diingatkan, iya yah... kok saya gak inget ke sana hehe... sandiwara radio juga termasuk sastra radio yah? secara saya juga penggemar sandiwara radio 'misteri gunung merapi' & 'tutur tinular' pada zaman sma dulu, ko ping ho juga saya suka haha... *lhooo...*

makasih untuk tambahan infonya & makasih juga dah mampir di mari :-)

Jorgy Ibrahim Murad at 1:59pm February 9
mungkin gak kaya gini?
1. literatur maya pertama dilakukan oleh penemu software word...
2. dunia sastra maya akan dikuasai mereka yg ahli IT
3. ada dua konteks sastra:
1) print-based dengan legitimasi rilisan buku/terbitan media dan
2) net-based dengan aktivitas offline berupa gestural/performance

Saut Situmorang at 2:00pm February 9
kalok kita ngomongin "kapitalisme" maka koran dan buku (juga majalah. pokoknya yang serba cetak dan serba kertaslah) merupakan produk kapitalis awal yang dilahap penduduk negeri kepulauan ini, lalu radio, televisi, sepeda, mobil, sepeda motor, bioskop, pesawat terbang, handphone... (belom lagi pakaian kita kayak kemeja, celana, kaos t-shirt. belom lagi jalan raya, jalan kereta api dan kereta apinya, listrik, air ledeng. belom lagi kacamata, sepatu, celana dalam, beha, kaos kaki. belom lagi piring, gelas, thermos, sendok garpu, kompor. pokoknya kalok gak mau produk kapitalis tapi hidup di zaman sekarang ya silahkan bunuh diri aja!)

bahkan sebagian nama orang di negeri kepulauan ini adalah "nama" kapitalis, kayak Robert, Richard, Andreas, Justin, Maria, Anna, Anita... kecuali Saut Situmorang!!!

tidak semua produk kapitalisme itu jahat, haram jadah dan harus ditolak!

tidak semua produk non-kapitalis itu bagus, halal dan menyehatkan jiwa-raga!

yang paling penting: live n let live!!!

Saut Situmorang at 2:09pm February 9
sandiwara radio jelas bukan Sastra tapi sandiwara ato drama. tapi teks naskahnya itu yang Sastra. harus dibedakan naskah dan pertujukan dalam konteks Teater/Drama.

sastra cyber yang gak mau pakek "bahasa/kode internet" adalah juga sastra cyber yang sah kayak yang pakek bahasa/kode internet.

apa kalok sastra cyber itu udah pakek "bahasa/kode internet" maka produknya akan jadi lebih "estetis" dibanding yang kagak! apa ukurannya? siapa yang membuat peraturan ini?

orang pseudo-kritikus kayak si Faruk dari UGM itu MEMBACA produk sastra di internet masih dengan ABC, masih dengan Kamus membaca sastra koran/majalah/buku makanya selalu mintak Sastra Cyber untuk Dituliskan beda dari sastra kertas. dia meminta sastrawan cyber untuk menulis karya dengan cara berbeda dari sastra kertas tapi dia sendiri masih belom beda cara bacanya dari orang yang biasa baca sastra kertas! inilah persoalan besar pseudo-kritikus di Sastra Indonesia kontemporer!!!

Anita Lindawaty SSi MSi at 2:10pm February 9
@ Jorgy: gue comment yg no 2, gue agak kurang sreg dengan kata 'dikuasai' karena mengacu pada penjajahan & dominasi, mengingat penjajahan diatas dunia harus dihapuskan :D Probabilitas nya bisa duplex (pinjem istilah komunikasi data dlm IT) alias dua arah:

1. sastrawan yg beradaptasi dengan program IT (boleh dibilang sastrawan melek IT, pinjem komunitas nya Kang Onno W Purbo, komunitas melek IT)

2. programmer IT yang terseret arus sastra cyber, sehingga produktif & mumpuni mencipta karya sastra.

Saut Situmorang at 2:17pm February 9
coba kita "selidiki" dulu sastra kertas, yang kertas koran itu misalnya. bukankah ada begitu banyak cara memPrint huruf dan kata yang bisa dilakukan dengan mesin cetak, bahkan terdapat banyak pilihan Warna untuk huruf ato kata! tapi kenapa yang muncul di koran dan majalah itu TUNGGAL jenis Font dan tipografi sajak-sajaknya! kenapa gak ada pseudo-kritikus yang pernah mempersoalkan ini seperti mereka meributkan "bahasa internet" pada Sastra Cyber!!!

jadi, BUKAN cuma pada medium Internet bahasa penulisannya itu khas, bahkan pada medium Koran pun begitu. bedanya, sekali lagi, bahasa medium Koran itu gak pernah diikutkan dalam "mengkritisi" Sastra Kertas Koran!!!

Anita Lindawaty SSi MSi at 2:19pm February 9
@ saut: Ntar dulu bang, nama Anita yg beraroma kapitalis itu tentu bukan Anita Lindawaty kan hehe...

Nah, itu dia bang, mestinya neh para akademisi guru besar sastra negeri ini duduk sama-sama sambil ngupi ngerumpiin sastra cyber, jadikan silabus mata kuliah kek, bikin batasan baku area mana yg kudu mesti ada (ciri khas sastra cyber) & area mana nyang boleh improvisasi kek, supaya buntut2nya jelas jati diri sastra cyber.

Saut Situmorang at 2:22pm February 9
Sastra itu adalah Seni Berbahasa Tertulis BUKAN seni memainkan Kode! bagaimana seseorang mengeksplorasi segala kemungkinan yang ditawarkan Bahasa Linguistiknya (dalam berkisah tentang sebuah Tema/Topik), itulah hakekat Sastra itu!sebuah iklan multimedia ber-Flash dalam Internet kan gak pernah dianggap karya Sastra!!!

Anita Lindawaty SSi MSi at 2:31pm February 9
@ saut: gue setuju bang, iklan = advertising = iklan, tentu bukan karya sastra hehe...

gue akan bahas urusan ini dalam next note, ntar bang saut mampir lagi yah :-)

Justin Chandra at 2:57pm February 9
Kalau scriptnya karya sastra bukan?????

Aku baru sadar, namaku produk kapitalis.. Hahahaha..
Bapakku tukang nonton film kapitalis sih..

Mikael Dewabrata at 6:26pm February 9
kyknya satu cerpen gw masuk di kumpulan cerpen cybersastra deh ..

Saut Situmorang at 6:50pm February 9
Cybersastra pernah satu kali nerbitin sebuah kumpulan cerpen pendek,
judulnya "graffiti imaji" (YMS, 2002).

Onno W. Purbo at 6:56pm February 9
sastra cyber ... istilah yg menarik. Apalagi kalau tahu pemikiran di balik istilah tersebut. Membuat orang mau mengadopsi istilah nanti merupakan seni tersendiri ..

contoh - dulu beberapa rekan berusaha menggunakan istilah WARIN .. akhirnya yang menang istilah WARNET :)padahal dari sisi kaidah menyalahi WARTEG, WARTEL ..

Dari sisi filosofy juga menarik karena sastra cyber menantang kemapanan seperti hal-nya- copy right vs. copy left / copy wrong- major label vs. internet label (untuk lagu)- akreditasi vs. pengakuan masyarakat- sertifikat / ijasah vs. pengakuan masyarakatdll .. masih banyak lagi ..

Membuat orang mau mengadopsi sebuah istilah
merupakan seni tersendiri ... semoga sukses :) ..

Anita Lindawaty SSi MSi at 7:14pm February 9
Saya sengaja mengundang (tag) kang onno w purbo ke note ini, biar ada masukan diri sudut pandang berbeda, mengingat kang onno ini penggagas 'komunitas melek IT' dan 'memperjuangkan internet murah kalo pinjem istilah beliau: Perendah IT :D'

@ Kang Onno: hatur nuhun kang, tidak disangka kang onno bisa datang dalam hitungan detik, internet memang memangkas jarak ruang & waktu :D

Dari sudut pandang e-commerce bagaimana kang? apa sastra cyber bisa punya nilai ekonomis?kita liat beberapa contoh kasus dimana tulisan di jagat cyber ini bisa menghasilkan nilai ekonomis:
1. Belakangan ada lomba blog, hadiahnya lumayan (nu hajatannya speedy tea)
2. Kumpulan posting blog dilirik penerbit lalu berrainkarnasi menjadi sastra cetak, menghasilkan duit juga :-)

Tapi apa mungkin dijadikan sebuah komoditi e-commerce?

Joshua Martin Johannes Lim at 8:27pm February 9
Informasi dan liputan terkeren yang saya lihat...
Kebetulan saya suka banget ama yang namanya berita, dan kalo saya nulis, semuanya pasti berita. Jaminan 99,999999999999999999999999999999999999999999999999% deh.

Joshua Martin Johannes Lim at 8:27pm February 9
Maap neh, agak panjang.

Anita Lindawaty SSi MSi at 8:17am February 10
@ joshua: tulis 99,99% nya yg agak panjang atau comment joshua?
panjang mana sama comment om hudan mu itu josh? :D

Wahyu Pambudi Sastrodiwiryo at 9:02am February 11
bagaimana jika semua komentar di sini, dirangkum Anita dani ditambahkan pada note tersebut di atas?Pastinya akan lebih memperkaya tulisan Anita.

Lebih dari itu, menurut aku pribadi sebuah "karya" apapun bentuknya, adalah bersifat nisbi bagi siapapun,yang karena kerelatifannya tersebut sebenarnya segala macam komentar/ kritik/ saran/ penilaian etc pada dasarnya harus bersifat konstruktif. Tidak ada suatu karya yang layak dibandingkan satu dengan yang lain, bahkan saat kita harus compare "apple to apple" kita tidak akan pernah bisa memberikan penilaian yang "layak" mana apel yang yang lebih baik dari satunya.jadi menurut saya sudah seharusnya setiap "karya" kita hormati.

Bagaimana menurut anda?

Anita Lindawaty SSi MSi at 9:30am February 11
@ Hudan: uda hudan kalo mau kutip note ini sekalian sama comment2 nya, bener tuh usulnya yudhi, kalo comment2 di sini uda rangkum akan menambal bagian yg kurang di note ini :-)

@ Yudhi: boleh tuh usulnya untuk merangkum comment ini karena aku sendiri merasakan banyak input di comment2 ini, tapi baiknya gak ditambahkan di note ini supaya tampak jelas kontribusi comment2 di sini dalam menyempurnakan tulisan asal jadi saya ini hehe.

Saya setuju tiap karya mesti dihormati, secara karya merupakan hasil buah pikir tidak perduli siapa pun pembuatnya (untuk urusan ini tidak boleh ada diskriminasi, karena ini menyangkut kebebasan berekspresi, bukan?).

Mengenai sifat nisbi sebuah karya, saya rasa ini mengarahkan kita pada selera yah yud? kita bicara selera hanya jika kita memandang sastra sebagai komoditi yang punya nilai ekomonis, maka kita perlu pertimbangakan selera konsumen penikmat sastra kita.

Anita Lindawaty SSi MSi at 9:30am February 11
@ yudhi: Tapi diluar itu, sastra sebagai sastra ya adalah sastra, beda penilaian itu hanya masalah interpretasi saja, saya kira. Tapi saya setuju satu hal, penilaian sebaiknya bersifat konstruktif :-)

Mengenai compare karya satu dengan karya lainnya, sebatas itu untuk keperluan penilaian konstruktif, why not yud? Justru dengan proses compare itu, kita tau mana berkualitas mana tidak dan tidak main pukul rata. Apakah apple to apple atau gak, bisa dilihat dari bagian mana yg di-compare itu :D

Steven Kurniawan at 4:13pm February 15
wah. kau pengamat sastra juga yah? (boleh dibilang sastrawan barang kali. hehe) maju terus! =)

Anita Lindawaty SSi MSi at 7:02pm February 15
@ steven: wa duh.. stev, keren sekali kalo saya dianggap pengamat sastra apalagi sastrawan hehe... saya rasa tentu blom sampe tahap itu lah saya :-) Saat ini saya lebih merasakan jati diri saya sebagai seorang chemist, saintis dibidang kimia walau baru sebatas mencipta beberapa formula...

Mengenai kesusastraan negeri ini, saya merasakan sedikit keperdulian yang diam-diam menyusup di hati... baru sebatas ini hihihi...

anyway, thanks a lot stev, sudah mampir di mari :-)

Steven Kurniawan at 7:56pm February 15
haha. sama2. aku sendiri lebih senang dibilang seniman daripada org yg punya urusan sama sastra.

Anita Lindawaty SSi MSi at 8:41pm February 15
@ steven: waaa... give me five... hehe...

Steven Kurniawan at 9:26pm February 15
five.. lol...

Kurniawan Yunianto at 11:19pm February 15
aduh jeung anita maaf ya, nggak bisa komen yang macem2 ... aku ikut menyimak saja ...
btw ... dunia sastra juga butuh orang2 seperti njenengan lho ...
yang juga mengamati dan menuliskan hasil pengamatannya ...

thx ditag
salam & senyum semua
eh ada stefen hai steve

Anita Lindawaty SSi MSi at 8:37am February 16
@ Mas Kur: wa duh... matur nuwun loh sudah mampir di mari hihi...
ho-oh po mas? waa... senang sekali kalo ternyata aku dibutuhkan dunia, dadi lebih berusaha lagi untuk menghargai kehidupan dengan melakukan hal2 yg berarti buat orang lain :-)