Siang terik di luar, Rusdi membeku!
Wajahnya pias, jantung bagai tidak berdegup dan napas seakan berhenti. Apakah waktu turut membeku beberapa jenak? Tangannya bagaikan kebas memegang hasil pemeriksaan swab PCR, matanya membelalak tak percaya membaca fakta yang menari di kepalanya:
Rusdi Kusnadi, positif covid19.
Bagaimana bisa terjadi? Rusdi tidak bisa menerima begitu saja hasil test swab PCR bertuliskan namanya, mustahil virus korona menjangkitinya. Rusdi tidak percaya covid19 ada, hanya rekayasa. Hasil test ini keliru! Mungkin saja tertukar dengan pasien lain. Kepala Rusdi dipenuhi aneka argumentasi menolak hasil test yang menyatakan dirinya terjangkit covid19.
Detik berikutnya hatinya dipenuhi seribu kekhawatiran baru: bagaimana caranya memberitahu pengrajin Suku Badui yang sudah kujanjikan akan kutemui besok? Bagaimana caranya mengabarkan pada teman dan kerabat? Bagaimana caranya melanjutkan hidup? Bagaimana caranya menghadapi virus yang belum ada obatnya ini? Aneka disclosure kekhawatiran dalam bentuk pertanyaan yang dimulai dengan ‘bagaimana caranya’. Selama ini Rusdi yang paling sering menyebarkan provokasi di medsos tentang teori konspirasi covid19. Lalu sekarang Rusdi tertular covid19, apa kata dunia?
Apa yang harus dilakukan selanjutnya? Pertanyaan yang memukul kesadarannya. Rusdi belum sempat berjibaku mencari jawabannya, suara lembut di telinga menyadarkannya.
“Rusdi Kusnadi? Apakah kamu alumni SMA tujuh-lima?” tanya seraut wajah dokter bermata bening seraya memandangnya takjub, seakan menemukan heritage artefak purbakala.
“Rasti! Kamu dokter di rumah sakit ini?”
Tanpa menjawab pertanyaan sang dokter, Rusdi balik bertanya. Mana mungkin Rusdi tidak mengenali mata indah dan alunan lembut suara gadis yang pernah menjadi kekasihnya di bangku SMA, meskipun saat ini sebagian wajahnya tertutup masker dan mengenakan APD layaknya astronot. Rusdi tidak mengira akan bertemu Rasti di situasi gundah saat ini.
Terlambat untuk menghindar. Rasti sudah membaca hasil test swab PCR, karena Rasti adalah dokter spesialis paru yang menangani penyakitnya.
“Apakah kamu sudah mengabari keluargamu? Dukungan keluarga sangat penting.” ucap dokter Rasti bagai hujan sehari yang menghapus kemarau setahun, tampak jelas kini apa yang seharusnya Rusdi lakukan selanjutnya.
Namun, Rusdi tidak dapat mengikuti saran sederhana tersebut, meskipun saran tersebut sungguh tepat. Rusdi ingat betul bagaimana kondisi ibunya pasca pengobatan sakit berat yang diderita beliau. Begitu pun Raisa, adiknya yang belum lama berbaikan dengan ibu tanpa Rusdi pahami penyebab perang dingin di antara kedua cahaya matanya.
“Bantu aku, Rasti. Aku tidak ingin ada orang lain yang mengetahui bahwa aku tertular covid19. Aku tidak bisa membiarkan keluargaku tahu bahwa aku terjangkit covid19. Bagaimana kondisiku?” tanya Rusdi was-was.
"Kamu OTG, Orang Tanpa Gejala. Namun, dari hasil swab PCR kondsimu sangat menularkan. Lakukan isolasi mandiri dan benar-benar hindari bertemu orang lain." sahut dokter Rasti menjelaskan.
***
Rusdi seorang penggiat budaya, khususnya Badui Luar atau urang penamping yang berpenduduk ribuan jiwa tersebar pada puluhan kampung di bagian utara Kanekes yaitu antara lain daerah Kaduketuk, Cikaju, Gajeboh, Kadukolot, dan Cisagu di Provinsi Banten. Secara penampilan Badui Luar mengenakan pakaian hitam dan ikat kepala warna biru. Setiap bulan Rusdi mengunjungi Suku Badui Luar dan membantu mengembangkan karya seni budaya berupa kain tenun dan aneka kerajinan yang khas.
Rusdi merahasiakan penyakitnya, selain karena selama ini Rusdi tidak percaya pandemi covid19 nyata adanya, paling penting Rusdi tidak ingin usaha yang dibangunnya bersama teman-temannya dan Suku Badui Luar terkendala covid19.
Kendatipun Rusdi mulai mengalami anosmia, indra penciumannya mulai tidak berfungsi dan lidahnya tidak dapat mengecap rasa, Rusdi bersikap seakan semua baik-baik saja. Covid19 tidak ada, covid19 hanya rekayasa dan semua baik-baik saja, demikianlah Rusdi mendengungkan dalam pikirannya. Beruntung Rusdi tidak mengalami demam tinggi sehingga tidak lah sulit berpura-pura lupa bahwa dia terjangkit covid19. Lagi pula selain Rasti, hanya dirinya dan Tuhan saja yang tahu tentang penyakitnya.
Pagi ini Rusdi bersama lima orang temannya yang ikut berinvestasi mengembangkan dan memasarkan kain tenun Suku Badui, berangkat menuju Kadukolot, perkampungan Badui Luar. Setibanya di Kadukolot, mereka disambut para pengrajin Badui Luar dan langsung menuju lokasi yang biasanya dijadikan tempat melakukan pertemuan.
Demikianlah selama tujuh hari berturut-turut, Rusdi dan kelima orang temannya melakukan kunjungan ke beberapa kampung Badui Luar mengumpulkan dan membeli hasil kerajinan tangan sesuai permintaan pasar. Pada hari kedelapan, satu per satu dari lima teman Rusdi mulai mengalami gejala mirip covid19. Begitupun penduduk kampung Badui Luar yang mereka kunjungi, mulailah berjatuhan korban jiwa terinfeksi covid19 bahkan kini perkampungan Badui Luar diberitakan menjadi kluster baru penyebaran covid19.
Hari ini medsos geger dengan beredarnya berita viral.
Berita Duka Cita:
Telah berpulang ke rahmatullah ibunda Rusdi Kusnadi, karena covid19. Semoga almarhumah husnul khatimah.
Semua berawal dari seorang Rusdi Kusnadi yang tidak percaya pandemi covid19 itu nyata, menolak vaksinasi dan mengabaikan protokol kesehatan. Tuhan pun menunjukkan KuasaNya dengan cara yang tak terduga oleh Rusdi.