February 20, 2009

Mencari Eksistensi dan Jati Diri Sastra Cyber

*Tulisan ini pernah saya publish di facebook saya: http://www.facebook.com/home.php?ref=home#/note.php?note_id=48289104787*

Sastra cyber, kenapa bukan sastra internet?
Dari segi bahasa, tidaklah beda, keduanya (cyber & internet) bukan berasal dari Bahasa Indonesia asli melainkan istilah serapan asing bidang teknologi, itu saya setuju :-)

Internet memiliki makna yang sangat teknis, secara harfiah, internet (kependekan dari kata interconnected-networking) ialah rangkaian komputer yang terhubung di dalam beberapa rangkaian. Internet (huruf 'I' kapital) ialah sistem komputer umum, yang berhubung secara global dan menggunakan TCP/IP sebagai protokol pertukaran paket (packet switching communication protocol). Rangkaian internet yang terbesar dinamakan Internet (huruf 'I' kapital). Cara menghubungkan rangkaian dengan kaidah ini dinamakan internetworking.

Cyber, lebih mengacu kepada tindakan, aktivitas & hal-hal yang berhubungan atau menggunakan media Internet. Sebut saja: cyber crime, cyber law, cyber sex, cyber soft, cyber media atau cyber school.

Sastra cyber - menurut kaidah pembentukan istilah Bahasa Indonesia mestinya ditulis cyber bukan saiber-, pada Simposium Budaya Internasional mengenai budaya media di Universitas Leiden yang diselenggarakan atas prakarsa Verbal Art in The Audio-Visual Media of Indonesia (VA-AVMI), April 2001, Veven Sp. Wardhana menorehkan catatan sebagai berikut: maknanya, harus ada kreativitas untuk menyiasati media yang berbeda. Dalam bahasa Faruk, sastra di internet harus berbeda dengan sastra cetak yang konvensional karena medianya juga berlainan. Yang ada selama ini sebatas memindahkan sastra cetak ke sastra di internet.

Penggunaan istilah sastra cyber sendiri sudahlah jelas dan gamblang menyatakan jenis media yang dipakai: media cyber, seperti halnya dengan istilah sastra koran, sastra majalah, sastra buku, sastra radio, sastra dinding, dan sebagainya.Jadi, sastra cyber ataukah sastra internet? Saya akan gunakan istilah sastra cyber dalam keseluruhan note ini, yang saya maknai sebagai sastra di internet.

***

Dunia telah membuka peluang bagi sastrawan media non-cetak sejak Winston Churchill mengantongi hadiah Nobel untuk sastra berkat pidato-pidato radionya, pada era 1940-an. Dalam perkembangannya sastra radio dan sastra televisi berkembang cukup bagus meskipun kurang digarap di Indonesia. Nilai-nilai puitis, pengolahan bahasa dan apresiasi sastra dapat dimunculkan dalam berbagai bentuk. Stasiun televisi NHK, di Jepang misalnya punya program apresiasi haiku tiap minggu. Stasiun televisi BBC Inggris juga banyak memproduksi sajak-sajak pendek atau memperkenalkan sastrawan dalam tayangan. Begitu pula radio Jerman dan lain-lain.

Sebelum munculnya sastra cyber, dunia sastra Indonesia sendiri telah memiliki beberapa kekhasan yang terkait dengan keberadaan teknologi media. Ketika biaya publikasi semakin mahal, begitu juga dengan keberadaan sastra koran yang kemudian dirasa telah membangun hegemoninya sendiri, maka sastra cyber pun datang.

Pada hari Rabu, 9 Mei 2001, sebuah buku berjudul Graffiti Gratitude diterbitkan oleh Yayasan Multimedia Sastra. Buku yang cukup menghebohkan dunia kesusateraan Indonesia itu dapatlah kita sebutkan sebagai momentum awal berkembangnya sastra cyber di tanah air. Sejak saat itu, melalui situs www.cybersastra.net, beragam blog, milis dan situs pertemanan, sastra cyber semakin berkembang dan mendapat tempatnya hampir di semua kalangan, bahkan berhasil membentuk jaringan antar sastrawan di seluruh tanah air baik yang ada di dalam maupun luar negeri termasuk sastrawan malaysia. Beberapa bahkan menjalin hubungan akrab baik sebagai teman maupun teman hidup :-)

Sastra cyber merupakan revolusi, mengingat internet itu sendiri menjadi revolusi media setelah penemuan mesin cetak Guttenberg juga setelah kehadiran radio dan televisi.

Komunitas-komunitas sastra cyber mulai muncul, memanfaatkan teknologi seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan juga blog, internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua orang boleh memajang karyanya, dan semua boleh mengapresiasinya.

Eksistensi & Jati Diri Sastra Cyber

Didalam sastra cyber, kita melihat puluhan bahkan ratusan orang berusaha menjadi penyair, menyamai atau mengalahkan nama-nama yang terlanjur menjadi berhala di dunia kesusasteraan nasional. Mereka ingin bicara apa saja, menulis apa saja, karena dalam dunia sastra cyber, huruf bukanlah segala-galanya. Dilayar monitor komputer, kita bisa melihat baris-baris muncul dengan animasi huruf yang indah seolah menari, diiringi semburan warna-warni latar belakang suara ombak, nyanyian burung, atau vokalisasi dan musikalisasinya. Ini merupakan peluang yang perlu dilihat dan dimanfaatkan oleh kita semua selaku penggiat sasta cyber.

Ironisnya, tantangan di Indonesia justru muncul dari dunia sastra sendiri. Sastra cyber, dengan sifatnya yang bebas itu pernah dituding oleh beberapa pihak sebagai sekadar ajang main-main sehingga karya-karyanya pastilah tak bermutu. Meski demikian, seiring berjalannya waktu, saat ini eksistensi karya sastrawan cyberpun sudah mulai makin diakui, terutama oleh masyarakat, walau untuk apresiasi mungkin masih dipandang sebelah mata oleh sebagian kelompok mapan.

Namun, benarkah dunia sastra cyber itu eksklusif dalam arti menutup pintu rapat-rapat bagi orang luar untuk masuk? Masuklah ke dunia cyber, jangan hanya mengintip, maka Anda akan tahu betapa inklusifnya dunia sastra cyber itu. Bandingkan saja dengan komunitas-komunitas sastra di darat atau eksklusivitas prestise sebuah halaman budaya di suatu koran misalnya. Egalitarian, kebebasan individu, demokrasi yang ditawarkan media cyber serta kelapangannya dalam mengakomodasi segala jenis manusia dan ragam karya di dalamnya tanpa adanya pintu-pintu terkunci jelas tak bisa dikatakan eksklusif, justru sebaliknya.

Semua sastrawan secara individual harusnya terus bergulat menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun yang dikuasainya. Isolasi ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang digunakan tak akan membawa manfaat apa pun, justru kontraproduktif. Semestinya sastrawan bisa bergerak di segala media, baik cetak maupun elektronik. Apakah seorang penyair yang biasa menulis puisi di atas kertas wangi lantas akan turun mutu puisinya ketika ia menuliskannya di atas dinding toilet? Kalau seorang penyair hanya bisa mengungkapkan kegelisahan remaja mencari jati dirinya atau kecengengan romatis-emosional tentu bukan karena medianya melainkan karena baru sejauh itulah perjalanan puitis penyair tersebut.

Menggeneralisasikan kualitas karya sastra cyber hanya dari satu-dua karya ditambah dengan apriori terhadap nama-nama penulisnya yang belum dikenal di dunia sastra sungguh tidak objektif dan semena-mena. Puisi tetaplah puisi, baik ia ditulis oleh seorang penyair sufi maupun seorang atheis pemabuk, seorang sarjana sastra maupun seorang ibu rumah tangga. Di dunia sastra cyber yang bukan penyair pun boleh ambil bagian. Sejauh ini belum ada satupun studi kritis atas karya-karya sastra cyber yang tak terhitung jumlahnya itu. Apakah semua karya tersebut rendah kualitasnya? Pertanyaan tersebut bisa juga berbunyi: apakah semua karya yang dimuat di koran dengan seleksi ketat redaktur itu (dijamin) tinggi kualitasnya?

Dunia sastra cyber memang bebas. Sebagai konsekuensinya, terhadapnya tak bisa dipakaikan satu acuan nilai saja. Sebagai dunia dengan ragam nilai, ragam kriteria, ragam standar, sastra cyber tak bisa dilihat dengan satu kacamata saja. Pembaca cyber yang sudah merasakan dan memahami psikologi dunia maya umumnya terbiasa dengan cara pandang multifaset seperti itu dan karenanya mereka cukup kritis memilih apa yang ingin mereka baca atau mereka lewati. Mungkin kini saatnya sastrawan terutama kritikus sastra kita membiasakan diri untuk menyediakan lebih dari satu kacamata, agar tidak mudah apriori dalam membaca hal-hal tersebut.

Belum terdeteksinya minat para akademisi, dalam hal ini para guru besar sastra, atau para kritikus sastra Indonesia, untuk terlibat dalam sebuah perbincangan konstruktif tentang sastra cyber. Agak sulit membayangkan di Indonesia akan bisa terjadi sebuah diskusi hangat yang mencerahkan antara figur-figur di kubu narratology semacam George Landow atau Katherine Hayles di satu pihak yang khatam ilmu sastra era Victoria namun juga intens mengamati perkembangan sastra digital, menghadapi para guru besar - dan calon guru besar- di kubu ludology yang berada di usia 40-an seperti Espen Aarseth atau Nick Montfort yang melewatkan masa remaja mereka bersama Lara Croft dari Tomb Raider.

Maju Terus Sastra Cyber!


Dikutip dari berbagai sumber di seantero jagat cyber :-)
Coba aja bandingkan puyengan mana, baca note saya ataukah baca link-link berikut ini:
1. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0410/04/hib02.html
2. http://en.wikipedia.org/wiki/Narratology
3. http://en.wikipedia.org/wiki/Game_studies
4. http://en.wikipedia.org/wiki/George_Landow_(professor)
5. http://en.wikipedia.org/wiki/N._Katherine_Hayles
6. http://en.wikipedia.org/wiki/Espen_J._Aarseth
7. http://en.wikipedia.org/wiki/Nick_Montfort
8. http://en.wikipedia.org/wiki/Lara_Croft

hehehe...

Comment Teman-Teman yang Menyempurnakan Tulisan ini:

Written about a week ago - Comment

Bumikelana Esfieana Elang at 11:39pm February 8
Whaaaaa.. keren nih..
Nuruddin Asydhie di tag deh Anita..

Dia pasti baca..Iya, memang bukan itu lagi intinya, melainkan tanda kutip yang ada pada tajuk di kolom koran Kompas tempo hari. Yang sempat buat heboh sebagian warga sastra FB, sedikiiiit...........
Sudah ada di komen catatan na itu.. :)

Hudan Hidayat at 11:48pm February 8
anita yang baik, minta izin mengutip tulisanmu ini untuk makalah yang kupersiapkan untuk seminar di malaysia itu ya. Semoga aku bisa memberikan komen yang memadai beok untuk tulisanmu ini. Salam hormatku padamu.Hudan

Bumikelana Esfieana Elang at 11:49pm February 8
*tuhkan* :D

Anita Lindawaty SSi MSi at 11:57pm February 8
@ hudan: waahh... silahkan aja uda hudan, lah wong saya juga dapet mengutip kok hehe... gara2 penasaran, sekedar mencoba figure out what's going on :-)

@ Bumikelana: ho oh Na... cepat sekali dirimu mampir, makasih :-)aku jadi begadang juga nih hihihi... tapi gak bakal sampe pagi lah, emangnya batman ***lirik yuswan***

Bumikelana Esfieana Elang at 12:01am February 9
Cak Yus itu lagi nemenin dakyuh nangkep maling, Anita..

Yang kutip2 ini lumayan berbicara.. Bagus.. Semangatmu keren..
Karena engkau, aku jadi yakin, An..
*yakin apa? nanti lah ya* :)

Hudan Hidayat at 12:03am February 9
kamu bukan hanya mengutip, tapi meneguhkan pendirian tentang sastra siber kukira anita. Dengan mempertanyakan sastra adalah sastra, menoho mereka yang mapan, dan yang paling kusuka: maju terus. Nah ini kan kita banget secara idih secara hehe kita yang gemar melihat kehadiran tiap nilai tergelar dalam semangat duduk sama tinggi beridir sama rendah ah maju terus anita. Ajak jagoan kecilmu joshua bersama. Tu kan kta na hehe

Anita Lindawaty SSi MSi at 12:12am February 9
@ hudan: Nah, itu dia tuh uda, strata & kasta dalam kesusastraan negeri ini dibikin atas dasar apa? itu saya yg gak paham... kalo kasta di bali (dalam agama hindu) sih saya ngerti hihihi...

@ Bumikelana: wa duh... nangkep maling dimana? ceritanya lagi pada ronda nih ampe pagi, silahkan diteruskan deh, saya permisi... :D si yu tumorrow :-) ***si yu tumorrow nya pake style nya sapa yah haha***

Yuswan Taufiq at 12:16am February 9
Wuaa...namaku dilirik nih..hahahaha.. :-P
*ssstttt..banyak yg jd Batman lho Nit di cyber ini* :D

Wah..daku hanya menikmati saja Nit..secara daku nih masih gapwas-was (gagap wawasan-waspada) hehehe

Hidup Anita!
*eh..mank slama ini gak ya?* hehehe

Maju terus sastra cyber....*halah...telat*

(malingnya dah lari ke mana ya Na?)^^

Bumikelana Esfieana Elang at 12:23am February 9
Mbuh Cak.. Dc2 melulu ini.. Kawanku wis off.. Kota Malang lagi angin kencang.. :((

Yuswan Taufiq at 12:25am February 9
Lhaaaa...kok di sini jadi tempat ngobrol Na?
*ntr digampar orang2 loh Na* hehehe

Gut nait Nit...hehehehehe

Bumikelana Esfieana Elang at 12:29am February 9
Halah.. Iya2.. Pamit ya Anita darling.. Muah..
*nang kandangku apa kandangmu Cak? langsung aja ya?*

Andreas T Wong at 12:34am February 9
huhuhuhuraaaaa... yipppy..piiye.... rame-rame ngerumpiku hanya menikmati... yang jelas dunia maya ini bergerak lebih cepat dari orang/pakar yang mengupasnya.. belum selsai dia seleksi satu besok sudah berhamburan seribu.... penikmat disajikan jajanan sesuai selera..... hehehe...
tu wa ga pat... matuk matuk wajah gawat kena ketupa.... hehehe

Justin Chandra at 1:23am February 9
Menurut anita, aku dapat dikatagorikan sastrawan cyber bukan?
Atau sastrawan cyber yang baru sampai tahap cinta-cintaan remaja?

Yang aku tahu, aku sastrawan hyper, bukan cyber.. Hahaha

Hudan Hidayat at 2:43am February 9
(emang siapa pengamatnya?)

Apa logis dan bijak mendesak untuk minta dibaca? Atau seperti di sebuah note terbaca olehku, tanpa angin tanpa hujan mendadak seperti orang marah memberondongkan aspirasi atau ideal sastra yang nothing, atau tiba tiba ingin mencuri perhatian dengan meneriakkan stop sastra porno (tahukan dia quran itu sendiri menceritakan adam dan hawa telanjang? Yusuf yang berkeinginan pula atas zulaikha kalau tak dicegah tuhannya?)

Ada ada saja.

Yang perlu dikejar itu mereka yang berkuasa dan jelas jelas telah membenamkan sastra indonesia ke tingkat amburadulnya segenap acuan sastra, bukan sebuah kehendak suka rela yang, sejatinya, adalah niat untuk menandingi power full dalam sastra.

Saya sendiri menulis dalam sunyi nyaris mau 15 tahun, berdiam diri mengejang dalam tubuh sendiri. Tak pernah mendesak siapapun untuk membaca.

Sesuatu akan matang dengan sendiri tanpa perlu dimatangkan.

Ada juga terlihat di mataku sikap orang tua yang hendak dilawan itu menjangkit anak anak muda di sini: belum jadi apa apa sudah pandai berdiam diri - seolah menjaga citra (atau mungkin takut dengan kekuasaan sastra yang suka membunuh itu?). Seolah ini note siapa dulu baru dengan secuil kata kata angkat bicara.

Kepada anak anak muda ini dengan cepat sekali aku akan menarik dukunganku. Bagiku tak menjadi soal game yang sedang kumainkan ini akan jadi apa nantinya, kalau apa yang kuidealkan dalam kehidupan sastra itu, belum apa apa sudah kulihat bibit bibit penyakit di orang tua yang hendak kulawan sendirian itu, ada di antara kita.

Aku sudah terbiasa sendirian dan asyik saja sendirian.

Biarlah sastra indonesia ini bermain dan dimainkan orang orang yang tak paham hidup itu sekehendak hatinya sendiri.

Hudan
(anita dan kemuning yang baik apa kabar? Deasyyyy deasykuuu)

Deasy Nathalia at 6:19am February 9
aih aih..aku disini jiyiku...he he he...maaaf baru baca...dan aku orang yang paling telat ternyata....Komentarku cuma satu...ulasanmu HEBAT !!!! canggih banget !! wah bukan bidangku deh nulis ulasan kayak gini....Kau HEBAT !!!!Maju teruuuuzzzz
@ Mas Hudan...aih aih lagi ah...

Weni Suryandari at 6:36am February 9
Juedddeeeerr!!! Sesuatu yang membuatku tertegun. Pertanyaan yang selalu menggaung di benakku. Kenapa dibilang bukan sastra, atau sastra sampah? Siapa bisa menjamin bhwa karya yang bertumbuh deras via internet ini bukan sastra? Kupikir semua punya nilai

Weni Suryandari at 6:41am February 9
dalam tingkat apresiasi penulis maupun pembaca. Ketika karya dihadapkan pada selera apresian, maka yang terjadi adalah selera individu dg tingkatannya sendiri2. Ketika karya adiluhung penyair yang dipuja dianggap luar biasa, kutengok ia. Dan yang ada

Weni Suryandari at 6:46am February 9
Adalah tak jauh beda dg karya teman2 lain yang tentunya punya makna. Hanya berbeda pada peletakan bentuk, yang seharusnya satu larik utuh ke samping, tapi ia terputus, lanjut ke bawah, begitu seterusnya. Ah. Aku suka artikelmu anita. Bang hudan, kita

Weni Suryandari at 6:51am February 9
Memang harus maju terus....apa mau berhenti pada teori2 yang kalah cepat mengedepan dengan karyanya. Wuah, ...salut aku, anita. Bang hudan....aih, kau ini kemana saja? Kangen

Anita Lindawaty SSi MSi at 9:02am February 9
@ wong: setuju satu hal denganmu bahwa belom selesai kritisi satu karya sastra, besok sudah muncul lagi seribu :-) Fenomena yg bagus dong, suatu ketika nanti pertumbuhan para kritikus juga akan berbanding lurus dengan pertumbuhan karya sastra cyber itu sendiri. Liat aja, kita tiap hari menulis sekaligus juga komentarin tulisan temen bukan? Sadar gak, sembari menulis kita berlatih jadi kritikus juga? Pada akhirnya SELEKSI ALAM akan berlaku di sini: akan ada yang tetap eksis sebagai penulis atau sebagai kritikus ataukah justru penulis sekaligus kritikus, juga tidak mustahil akan banyak yg gugur, alias mandeg.

Anita Lindawaty SSi MSi at 9:10am February 9
@ JC: Tentu saja JC sastrawan cyber, jelas2 JC publish tulisan JC di media cyber hehe... JC sudah sampai tahap apa, I don't know yet hehe, itu sih masalah proses. asalkan JC gak berhenti menulis tentu akan masuk katagori eksis :-) semalem gue berniat menjadikan satu karyamu sebagai contoh kasus, untuk melukiskan "Jati Diri" sastra cyber suatu ketika nanti. Berhubung sudah dini hari, mengingat "buruh pabrik" harus berangkat kerja pagi2 hihihi, jadi cepet2 ditutup note nya, mungkin di next note deh...

Anita Lindawaty SSi MSi at 9:26am February 9
@ deasy:aih..aih.. deasy fotomodel yg selalu berseri-seri... siapa bilang dirimu telat, lah note baru dipublish dini hari tadi kok. makasih sudah mampir hihihi aih :-) *lhooo...*

@ weni: Juedderr?!? biz nabrak apa jeng? benzol gak tuh jidat hehe...Semuanya itu kan berproses dan SELEKSI ALAM berlaku disini, kita yang menentukan pilihan, maju terus atau berhenti. Gak perlu patah semangat hanya seribu dua ribu komentar negatif tentang tulisan kita. Sesungguhnya kita cuma butuh SATU dukungan saja untuk bisa meneguhkan langkah kita untuk maju. Jika SATU dukungan itu tidak bisa kita dapatkan dari orang lain tentu bisa kita raih dari DIRI KITA SENDIRI bukan? :-)

@ hudan: setuju dengan uda hudan, kenapa mesti takut sendirian?ada banyak hal yang justru bisa kita pahami ketika sendiri hihihi...

Embie C Noer at 10:31am February 9
Maju Terus Sastra Cyber ! jargon2 macam ini khas budaya partisan dan sering bikin segalanya berarti cuma jadi gerakan linear hanya ke depan dengan segala angan-angan sama dengan di sana atau di situ, terlalu sederhana dan miskin untuk hidup di dunia cyber. kalau di sana ada american idol kita bikin indonesia idiot, begitu seterusnya. tidak boleh menolak karena menolak berarti mati dan yang ikutan berarti... dalam sastra cyber pun tentu nanti akan ada strata atawa kasta yang sama.. jadi kekurangan model awal tidak perlu terlalu bersemangat untuk dibawa ke dalam sini. tak ada yang perlu diyakinkan selain pertanyaan, pada satra cyber diskusi kapitalisme menjadi tidak relevan atau dikoreksi lagi, benarkah?

Anita Lindawaty SSi MSi at 12:01pm February 9
@ Embie: aih..aih... om embie... terimakasih sudah mampir di mari :-)Saya saat ini blom tau pasti persisnya jati diri sastra cyber itu akan seperti apa om, karena itu judul note nya 'Mencari Eksistensi & Jati Diri Sastra Cyber'. Semalam saya sempat punya sedikit visi tentang sastra cyber yg blom sempat saya muntahkan di note ini.

Komentar om embie ini manis sekali, membuat saya menela'ah kembali, merevisi dan ingin menggali lagi untuk melengkapi visi tersebut, insya allah akan saya sempatkan tulis di next note, sekali lagi makasih om embie...

Sastra cyber masih mencari Jati Diri dan akan seperti apa Eksistensi nya nanti? Sekiranya dipandang sebagai revolusi, sudah pasti akan ada benturan (kecepatan tinggi?) di sana-sini. apakah ini gerakan linier? jadi inget gerak linier di fisika (hehe), gerak linier di alam ini gak ada yg bener2 linier om, akan ada regresi, retensi bahkan turbulensi, mungkin sekali. apakah akan ada strata & kasta jg? bisa jadi! kita lihat saja nanti :-)

Justin Chandra at 12:20pm February 9
Hahaha.., jujur, walau note ini adalah jurnal ilmiah, tapi enak banget ya bacanya..Jangan2 yang ada di link itu lebih asik dibaca? Hayo.. Siapa yang mau baca?

Jorgy Ibrahim Murad at 12:42pm February 9
sastra cyber gak perlu aktualitas cetak?

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:07pm February 9
@ Jorgy: merujuk pada alinea ke-14 note ini: Semua sastrawan secara individual harusnya terus bergulat menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun yang dikuasainya. Isolasi ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang digunakan tak akan membawa manfaat apa pun, justru kontraproduktif. Semestinya sastrawan bisa bergerak di segala media, baik cetak maupun elektronik.

Jadi kalo ditanya: sastra cyber gak perlu aktualitas cetak?saya jawab: bisa YA, bisa TIDAK :-)YA, karena sastra cyber tidak membatasi ruang gerak sastrawan, jika mungkin & ada peluang karyanya yg digemari di cyber untuk dicetak, why not? Graffiti Gratitude sendiri sastra cyber yg dicetak :D

TIDAK, ini jika suatu ketika nanti visi saya tentang sastra cyber menjadi nyata, dimana karya sastra cyber hanya bisa dinikmati di media cyber tidak bisa reinkarnasi jadi satra cetak. Kenapa bisa begitu? Tentang hal ini insya allah akan saya tumpahkan di next note :-)

Nurdin Ahmad Zaky at 1:13pm February 9
Diskusi yang menarik..tak ambil kopi dulu ah biar tambah enak bacanya.

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:18pm February 9
@ JC: sebenernya ada lebih banyak link yg sempet gue buka yg gak sempet gue catet, dicari lagi gak nemu haha... Link yg ntu tujuannya untuk nambah puyeng hehe gak ding, untuk tambahan data sekaligus compare mungkin gue salah 'kutip' hehe... kan bisa CMIIW :-)

link yg pertama itu lumayan asik tuh, gue mendengar "teriakan" saut situmoang di sana hehe... *piss bang saut*

tapi kalo gue sih paling asik link terakhir, mengingat gue fan tomb rider.
Tadinya mo ajak Anakin (dart vader) yg di star wars juga haha...

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:21pm February 9
@ naz: yuk naz yuk... sambil ngupi enak neh hehe. Biz gue dah mulai puyeng neh, comment nya berat2 bikin gue serasa sedang mempertahankan skripsi di ruang sidang tugas akhir dihadapan profesor2 'killer' haha...

Jorgy Ibrahim Murad at 1:23pm February 9
bener tuh.ini ada pandangan lain. sastra maya tidak perlu "legitimasi" lewat medium cetak, dan "legitimasi cetak" tidak signifikan utk kategori sastra maya. so, in the future, ga ada lagi pertanyaan "udah berapa buku yg elo bikin?" atao "udah terbitin berapa buku?" and so on... yg menjadi patokan bagi dunia sastra maya... biarkan sastra maya hidup secara maya, dan pengembangan medium ke cetak menjadi salah satu branches saja... gmana tuh?

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:32pm February 9
Ralat comment @ Jorgy: berhubung pertanyaannya pertanyaan negasi, jadi jawaban Ya & Tidak saya ketuker alasannya hehe... maaf! kurang teliti...

dengan demikian kekeliruan sudah saya ralat. thanks...

Saut Situmorang at 1:45pm February 9
sejarah sastra cyber Indonesia itu bisa dibaca di buku kumpulan esei yang aku editorin berjudul "Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk (YMS dan Jendela, 2004).

tahun 2003 komunitas Cybersastra (Yayasan Multimedia Sastra) mengeluarkan sebuah antologi puisi multimedia dalam bentuk CD-ROM berjudul "CYBERPUITIKA" yang memakai "teknik menulis" Powerpoint. ini yang pertama di Indonesia.

satu kritik atas Note ini:

Radio Republik Indonesia alias RRI dan juga banyak radio swasta di Indonesia sudah sangat lama bahkan sampai hari ini punya program Sastra, terutama baca puisi dan cerpen. jadi radio kita gak kalah ama yang di luar sono.

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:45pm February 9
@ Jorgy: untuk saat ini? bisa jadi, why not? faktanya saat ini, banyak blog yg 'best reader' di cyber dilirik penerbit, kumpulan ceritanya menjelma jadi novel & dicetak.

Tapi, jika suatu ketika nanti, sastrawan cyber gak sebatas mumpuni dalam urusan membuat karya sastra tapi juga menguasai teknologi IT, katakanlah dia bisa bikin applied Java atau CGI untuk support karya sastranya. Maka pada era itu, sastra cyber akan punya jati diri nya sendiri, sehingga hanya enak dinikmati di media cyber, tidak bisa reinkarnasi ke media cetak lagi. Ini mungkin sekedar visi saya semata, tapi saya lihat ini mungkin sekali terjadi pada era Joshua, misalnya.semoga saja :-)

Justin Chandra at 1:46pm February 9
Saya tidak tahu teorinya, tapi jika memang benar sastra itu berperan dalam membentuk budaya dan menyeimbangkan fungsi otak kanan, maka aku adalah korban terhormat dari sastra cyber ini.

Ya terhormat, karena aku belajar mengkritisi dengan jujur, atau dengan bijak, atau lebih sering dengan asbun.Aku juga belajar menulis untuk malu-maluin diri, atau untuk jujur, atau untuk memuaskan orang lain.

(aku koq senang ya mondar-mandir di sidang tesis ini, punten ya bapak ibu doktor penguji)
pee & peace ah..

Anita Lindawaty SSi MSi at 1:58pm February 9
@ saut: di alinea ke-6 saya tulisnya 'kurang digarap' bukan gak ada sama sekali hehe... anyway, thanks kritiknya juga diingatkan, iya yah... kok saya gak inget ke sana hehe... sandiwara radio juga termasuk sastra radio yah? secara saya juga penggemar sandiwara radio 'misteri gunung merapi' & 'tutur tinular' pada zaman sma dulu, ko ping ho juga saya suka haha... *lhooo...*

makasih untuk tambahan infonya & makasih juga dah mampir di mari :-)

Jorgy Ibrahim Murad at 1:59pm February 9
mungkin gak kaya gini?
1. literatur maya pertama dilakukan oleh penemu software word...
2. dunia sastra maya akan dikuasai mereka yg ahli IT
3. ada dua konteks sastra:
1) print-based dengan legitimasi rilisan buku/terbitan media dan
2) net-based dengan aktivitas offline berupa gestural/performance

Saut Situmorang at 2:00pm February 9
kalok kita ngomongin "kapitalisme" maka koran dan buku (juga majalah. pokoknya yang serba cetak dan serba kertaslah) merupakan produk kapitalis awal yang dilahap penduduk negeri kepulauan ini, lalu radio, televisi, sepeda, mobil, sepeda motor, bioskop, pesawat terbang, handphone... (belom lagi pakaian kita kayak kemeja, celana, kaos t-shirt. belom lagi jalan raya, jalan kereta api dan kereta apinya, listrik, air ledeng. belom lagi kacamata, sepatu, celana dalam, beha, kaos kaki. belom lagi piring, gelas, thermos, sendok garpu, kompor. pokoknya kalok gak mau produk kapitalis tapi hidup di zaman sekarang ya silahkan bunuh diri aja!)

bahkan sebagian nama orang di negeri kepulauan ini adalah "nama" kapitalis, kayak Robert, Richard, Andreas, Justin, Maria, Anna, Anita... kecuali Saut Situmorang!!!

tidak semua produk kapitalisme itu jahat, haram jadah dan harus ditolak!

tidak semua produk non-kapitalis itu bagus, halal dan menyehatkan jiwa-raga!

yang paling penting: live n let live!!!

Saut Situmorang at 2:09pm February 9
sandiwara radio jelas bukan Sastra tapi sandiwara ato drama. tapi teks naskahnya itu yang Sastra. harus dibedakan naskah dan pertujukan dalam konteks Teater/Drama.

sastra cyber yang gak mau pakek "bahasa/kode internet" adalah juga sastra cyber yang sah kayak yang pakek bahasa/kode internet.

apa kalok sastra cyber itu udah pakek "bahasa/kode internet" maka produknya akan jadi lebih "estetis" dibanding yang kagak! apa ukurannya? siapa yang membuat peraturan ini?

orang pseudo-kritikus kayak si Faruk dari UGM itu MEMBACA produk sastra di internet masih dengan ABC, masih dengan Kamus membaca sastra koran/majalah/buku makanya selalu mintak Sastra Cyber untuk Dituliskan beda dari sastra kertas. dia meminta sastrawan cyber untuk menulis karya dengan cara berbeda dari sastra kertas tapi dia sendiri masih belom beda cara bacanya dari orang yang biasa baca sastra kertas! inilah persoalan besar pseudo-kritikus di Sastra Indonesia kontemporer!!!

Anita Lindawaty SSi MSi at 2:10pm February 9
@ Jorgy: gue comment yg no 2, gue agak kurang sreg dengan kata 'dikuasai' karena mengacu pada penjajahan & dominasi, mengingat penjajahan diatas dunia harus dihapuskan :D Probabilitas nya bisa duplex (pinjem istilah komunikasi data dlm IT) alias dua arah:

1. sastrawan yg beradaptasi dengan program IT (boleh dibilang sastrawan melek IT, pinjem komunitas nya Kang Onno W Purbo, komunitas melek IT)

2. programmer IT yang terseret arus sastra cyber, sehingga produktif & mumpuni mencipta karya sastra.

Saut Situmorang at 2:17pm February 9
coba kita "selidiki" dulu sastra kertas, yang kertas koran itu misalnya. bukankah ada begitu banyak cara memPrint huruf dan kata yang bisa dilakukan dengan mesin cetak, bahkan terdapat banyak pilihan Warna untuk huruf ato kata! tapi kenapa yang muncul di koran dan majalah itu TUNGGAL jenis Font dan tipografi sajak-sajaknya! kenapa gak ada pseudo-kritikus yang pernah mempersoalkan ini seperti mereka meributkan "bahasa internet" pada Sastra Cyber!!!

jadi, BUKAN cuma pada medium Internet bahasa penulisannya itu khas, bahkan pada medium Koran pun begitu. bedanya, sekali lagi, bahasa medium Koran itu gak pernah diikutkan dalam "mengkritisi" Sastra Kertas Koran!!!

Anita Lindawaty SSi MSi at 2:19pm February 9
@ saut: Ntar dulu bang, nama Anita yg beraroma kapitalis itu tentu bukan Anita Lindawaty kan hehe...

Nah, itu dia bang, mestinya neh para akademisi guru besar sastra negeri ini duduk sama-sama sambil ngupi ngerumpiin sastra cyber, jadikan silabus mata kuliah kek, bikin batasan baku area mana yg kudu mesti ada (ciri khas sastra cyber) & area mana nyang boleh improvisasi kek, supaya buntut2nya jelas jati diri sastra cyber.

Saut Situmorang at 2:22pm February 9
Sastra itu adalah Seni Berbahasa Tertulis BUKAN seni memainkan Kode! bagaimana seseorang mengeksplorasi segala kemungkinan yang ditawarkan Bahasa Linguistiknya (dalam berkisah tentang sebuah Tema/Topik), itulah hakekat Sastra itu!sebuah iklan multimedia ber-Flash dalam Internet kan gak pernah dianggap karya Sastra!!!

Anita Lindawaty SSi MSi at 2:31pm February 9
@ saut: gue setuju bang, iklan = advertising = iklan, tentu bukan karya sastra hehe...

gue akan bahas urusan ini dalam next note, ntar bang saut mampir lagi yah :-)

Justin Chandra at 2:57pm February 9
Kalau scriptnya karya sastra bukan?????

Aku baru sadar, namaku produk kapitalis.. Hahahaha..
Bapakku tukang nonton film kapitalis sih..

Mikael Dewabrata at 6:26pm February 9
kyknya satu cerpen gw masuk di kumpulan cerpen cybersastra deh ..

Saut Situmorang at 6:50pm February 9
Cybersastra pernah satu kali nerbitin sebuah kumpulan cerpen pendek,
judulnya "graffiti imaji" (YMS, 2002).

Onno W. Purbo at 6:56pm February 9
sastra cyber ... istilah yg menarik. Apalagi kalau tahu pemikiran di balik istilah tersebut. Membuat orang mau mengadopsi istilah nanti merupakan seni tersendiri ..

contoh - dulu beberapa rekan berusaha menggunakan istilah WARIN .. akhirnya yang menang istilah WARNET :)padahal dari sisi kaidah menyalahi WARTEG, WARTEL ..

Dari sisi filosofy juga menarik karena sastra cyber menantang kemapanan seperti hal-nya- copy right vs. copy left / copy wrong- major label vs. internet label (untuk lagu)- akreditasi vs. pengakuan masyarakat- sertifikat / ijasah vs. pengakuan masyarakatdll .. masih banyak lagi ..

Membuat orang mau mengadopsi sebuah istilah
merupakan seni tersendiri ... semoga sukses :) ..

Anita Lindawaty SSi MSi at 7:14pm February 9
Saya sengaja mengundang (tag) kang onno w purbo ke note ini, biar ada masukan diri sudut pandang berbeda, mengingat kang onno ini penggagas 'komunitas melek IT' dan 'memperjuangkan internet murah kalo pinjem istilah beliau: Perendah IT :D'

@ Kang Onno: hatur nuhun kang, tidak disangka kang onno bisa datang dalam hitungan detik, internet memang memangkas jarak ruang & waktu :D

Dari sudut pandang e-commerce bagaimana kang? apa sastra cyber bisa punya nilai ekonomis?kita liat beberapa contoh kasus dimana tulisan di jagat cyber ini bisa menghasilkan nilai ekonomis:
1. Belakangan ada lomba blog, hadiahnya lumayan (nu hajatannya speedy tea)
2. Kumpulan posting blog dilirik penerbit lalu berrainkarnasi menjadi sastra cetak, menghasilkan duit juga :-)

Tapi apa mungkin dijadikan sebuah komoditi e-commerce?

Joshua Martin Johannes Lim at 8:27pm February 9
Informasi dan liputan terkeren yang saya lihat...
Kebetulan saya suka banget ama yang namanya berita, dan kalo saya nulis, semuanya pasti berita. Jaminan 99,999999999999999999999999999999999999999999999999% deh.

Joshua Martin Johannes Lim at 8:27pm February 9
Maap neh, agak panjang.

Anita Lindawaty SSi MSi at 8:17am February 10
@ joshua: tulis 99,99% nya yg agak panjang atau comment joshua?
panjang mana sama comment om hudan mu itu josh? :D

Wahyu Pambudi Sastrodiwiryo at 9:02am February 11
bagaimana jika semua komentar di sini, dirangkum Anita dani ditambahkan pada note tersebut di atas?Pastinya akan lebih memperkaya tulisan Anita.

Lebih dari itu, menurut aku pribadi sebuah "karya" apapun bentuknya, adalah bersifat nisbi bagi siapapun,yang karena kerelatifannya tersebut sebenarnya segala macam komentar/ kritik/ saran/ penilaian etc pada dasarnya harus bersifat konstruktif. Tidak ada suatu karya yang layak dibandingkan satu dengan yang lain, bahkan saat kita harus compare "apple to apple" kita tidak akan pernah bisa memberikan penilaian yang "layak" mana apel yang yang lebih baik dari satunya.jadi menurut saya sudah seharusnya setiap "karya" kita hormati.

Bagaimana menurut anda?

Anita Lindawaty SSi MSi at 9:30am February 11
@ Hudan: uda hudan kalo mau kutip note ini sekalian sama comment2 nya, bener tuh usulnya yudhi, kalo comment2 di sini uda rangkum akan menambal bagian yg kurang di note ini :-)

@ Yudhi: boleh tuh usulnya untuk merangkum comment ini karena aku sendiri merasakan banyak input di comment2 ini, tapi baiknya gak ditambahkan di note ini supaya tampak jelas kontribusi comment2 di sini dalam menyempurnakan tulisan asal jadi saya ini hehe.

Saya setuju tiap karya mesti dihormati, secara karya merupakan hasil buah pikir tidak perduli siapa pun pembuatnya (untuk urusan ini tidak boleh ada diskriminasi, karena ini menyangkut kebebasan berekspresi, bukan?).

Mengenai sifat nisbi sebuah karya, saya rasa ini mengarahkan kita pada selera yah yud? kita bicara selera hanya jika kita memandang sastra sebagai komoditi yang punya nilai ekomonis, maka kita perlu pertimbangakan selera konsumen penikmat sastra kita.

Anita Lindawaty SSi MSi at 9:30am February 11
@ yudhi: Tapi diluar itu, sastra sebagai sastra ya adalah sastra, beda penilaian itu hanya masalah interpretasi saja, saya kira. Tapi saya setuju satu hal, penilaian sebaiknya bersifat konstruktif :-)

Mengenai compare karya satu dengan karya lainnya, sebatas itu untuk keperluan penilaian konstruktif, why not yud? Justru dengan proses compare itu, kita tau mana berkualitas mana tidak dan tidak main pukul rata. Apakah apple to apple atau gak, bisa dilihat dari bagian mana yg di-compare itu :D

Steven Kurniawan at 4:13pm February 15
wah. kau pengamat sastra juga yah? (boleh dibilang sastrawan barang kali. hehe) maju terus! =)

Anita Lindawaty SSi MSi at 7:02pm February 15
@ steven: wa duh.. stev, keren sekali kalo saya dianggap pengamat sastra apalagi sastrawan hehe... saya rasa tentu blom sampe tahap itu lah saya :-) Saat ini saya lebih merasakan jati diri saya sebagai seorang chemist, saintis dibidang kimia walau baru sebatas mencipta beberapa formula...

Mengenai kesusastraan negeri ini, saya merasakan sedikit keperdulian yang diam-diam menyusup di hati... baru sebatas ini hihihi...

anyway, thanks a lot stev, sudah mampir di mari :-)

Steven Kurniawan at 7:56pm February 15
haha. sama2. aku sendiri lebih senang dibilang seniman daripada org yg punya urusan sama sastra.

Anita Lindawaty SSi MSi at 8:41pm February 15
@ steven: waaa... give me five... hehe...

Steven Kurniawan at 9:26pm February 15
five.. lol...

Kurniawan Yunianto at 11:19pm February 15
aduh jeung anita maaf ya, nggak bisa komen yang macem2 ... aku ikut menyimak saja ...
btw ... dunia sastra juga butuh orang2 seperti njenengan lho ...
yang juga mengamati dan menuliskan hasil pengamatannya ...

thx ditag
salam & senyum semua
eh ada stefen hai steve

Anita Lindawaty SSi MSi at 8:37am February 16
@ Mas Kur: wa duh... matur nuwun loh sudah mampir di mari hihi...
ho-oh po mas? waa... senang sekali kalo ternyata aku dibutuhkan dunia, dadi lebih berusaha lagi untuk menghargai kehidupan dengan melakukan hal2 yg berarti buat orang lain :-)

January 6, 2009

Sepercik Cinta Diujung Lelah

Jangan dikira cinta itu datang dari keakraban yang lama
dan karena pendekatan yang tekun.
Cinta adalah kecocokan jiwa dan jika itu tidak ada,
cinta tidak akan pernah tecipta dalam hitungan tahun bahkan abad...


-Khalil Gibran-

Aku baru mengenal Jeff empat bulan yang lalu, tapi rasanya seperti sudah empat puluh musim panas kulalui bersamanya. Bagaimana tidak, aku mengenal setiap riak emosi dalam dirinya.
Aku dapat membaca suasana hatinya hanya dari caranya merespon sms yang kukirimkan.
Aku bahkan dapat menemukan motif dibalik setiap tindak tanduknya.
Inikah yang disebut kecocokan jiwa?

Aku baru satu kali bertemu Jeff, tapi rasanya sudah ratusan kali aku melihatnya, merangkai hari bersamanya. Bagaimana tidak, aku dapat melukiskan setiap detail parasnya, setiap ekspresi perubahan emosinya, juga gaya bicara dan caranya tertawa.
Inikah yang disebut kecocokan jiwa?

Aku tidak tahu, namun inilah yang aku rasakan terhadap Jeff.
Entah apa yang Jeff rasakan terhadapku. Mungkin saja Jeff merasakan hal sebaliknya,
atau justru merasakan hal yang sama namun mencoba mengingkarinya.
Entahlah, aku sungguh tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Aku tidak tahu sejak kapan persisnya kelelahan ini menyergapku.
Mungkin sejak Jeff keberatan aku mengenal teman-temannya.
Mungkin sejak Jeff berusaha keras agar aku tidak punya akses untuk berkomunikasi dengan teman-temannya. Atau mungkin sejak Jeff memberikan alasan-alasan tidak logis untuk setiap keberatannya. Entah apa yang dikhawatirkan Jeff jika aku mengenal temannya.
Entahlah, aku tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Aku tidak dapat menghentikan keinginanku untuk menemukan jawaban dari pertanyaan "siapakah Jeff?" sejak hari pertama aku mengenalnya.
Sesuatu yang menarikku untuk mengungkap sosok Jeff secara utuh.
Sesuatu yang melahirkan eksistensi Jeff dalam denyut nadi kehidupanku dan mewarnai hari-hariku dengan komunikasi ponsel dan internet, melintasi batas ruang dan waktu.
"Jeff, udah tidur yah? really sorry kalo ganggu, gue gak bisa tidur nih. Elo masih di bandung yah?" suatu ketika pada dini hati, lewat tengah malam.
"Nggak lah. Kan besok gue kerja. Kok pertanyaannya lucu sih?"
Jeff merespon juga, mesti pertanyaan itu tidak penting dan dilemparkan pada waktu yang tidak semestinya. Aku mengamati sekelilingku, senyap terlelap dalam istirahat malam.
Mendadak sesuatu yang sepele menjadi penting. Aku menemukan seorang teman, aku menemukan Jeff dalam kesendirian malam. Apakah Jeff merasakan kesendirian yang sama? ataukah aku membuatnya terjaga dalam kesendirian?
Entahlah aku sungguh tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Seorang teman, yah seorang teman yang baik. Aku ingin menjadi seorang teman yang baik untuk Jeff. Setiap hari aku merangkai doa yang sama.
"Tuhanku, aku tahu persis Jeff tidak mungkin jatuh cinta padaku. Aku pun tidak memohon kesempatan pacaran apalagi menikah dengan Jeff. Aku hanya mohon padaMu, lembutkan hati Jeff terhadapku agar aku dapat menjadi teman baik buat Jeff dan Jeff menjadi teman baik untukku." Apakah Tuhan setuju denganku dan mengabulkan doaku?
Entahlah aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mencari tau.

Aku merasakan doaku menjadi sumber kekuatanku ketika sikap Jeff mulai melelahkanku.
Aku merasakan doaku menjadi sumber kesabaranku ketika Jeff mulai memancing kemarahanku. Aku merasakan doaku menjadi sumber ketabahanku ketika Jeff menebar jaring konfrontasi.
"Sorry, terserah elo mau bilang gue jahat atau apa, tapi please dong.
Ada beberapa orang yang gak suka dihubungi untuk hal-hal yang tidak terlalu penting.
Mohon dimengerti"
"Dan gue termasuk orang yang seperti itu, jadi mohon pengetiannya.
Dan mohon juga dimengerti, mungkin temen-temen gue tipe orang yang sama kayak gue"
"Kalo 1 - 2 kali pertama mungkin masih dijawab, tapi kalo berikutnya gak dijawab, mohon dimengerti bahwa itu menunjukkan sinyal ketidak-nyamanan. Mohon pengertiannya"

Aku mencoba bijak mensikapinya dengan sepenggal kekuatan, kesabaran dan ketabahan yang bersumber dari doaku.
"Thanks for being honest, Jeff. Semua yang elo bilang itu akan gue pertimbangkan sebagai feedback. Terima kasih sudah mengatakannya dengan sangat sopan.
Tanpa elo minta pun, gue emang harus belajar mengerti banyak hal. By the way, gue sama sekali gak bilang elo jahat kok :-) At least, sekarang gue jadi lebih memahami elo dan semoga ke depannya gue lebih tau what should I do. Sekali lagi, thanks for being honest, Jeff."

Aku menyadari kini, Jeff bahkan tidak ingin berteman denganku.
Jeff memutuskan tali silaturahmi denganku. Jeff merasa terganggu dengan komunikasi yang selama ini terjalin. Aku sangat perduli dengan ketidak-nyamanan yang dirasakan Jeff. Aku sangat ingin membuatnya merasa lebih baik. Pertama kalinya aku sulit memahami apa yang mengganggu perasaannya. Tapi aku hanya ingin menjadi teman baiknya dan Jeff menjadi teman baikku. Aku tidak pernah berhenti memanjatkan doaku, day by day, everyday. Apalagi yang dapat aku lakukan? Aku sungguh tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Detik pergantian tahun sebentar lagi…
“Geby… cepet kemari dan tolong bawa terompetnya. Kita liat kembang api nya dari sini.”
teriakan Radith menggugah lamunanku.
Aku menghampiri Radith dengan terompet di tanganku. Namun anganku melayang pada Jeff. Sedang apa Jeff sekarang? Bersama siapa Jeff melewati pergantian tahun? Entahlah aku tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Aku ingin sekali mengucapkan selamat tahun baru pada Jeff. Aku ingin sekali lagi berjumpa dengan Jeff. Tapi... Jeff tidak ingin aku menghubunginya. Lewat empat puluh menit dari pukul dua dini hari, akhirnya aku putuskan untuk sms Jeff.
”Sulit gue pahami apa yang ganggu perasaan elo tapi gue bisa kasi tiga alasan kenapa gue murni mo jadi good friend aja. Happy New Year, Jeff. I hope we meet again someday :-)”
Mungkin Jeff akan merasa lebih baik jika aku beri tahu tiga alasan mengapa aku hanya bisa menjadi teman baik. Sayangnya Jeff tidak merespon, Jeff tidak bertanya. Artinya Jeff tidak ingin tahu, Jeff tidak perduli dan Jeff benar-benar tidak ingin berteman denganku. Tiba-tiba kelelahan ini mencapai puncaknya, namun tidak kubiarkan merobek jiwaku.
Hanya seorang Jeff yang menolak berteman denganku, bukankah masih ada Radith?

Aku melihat Radith setiap hari pagi dan sore, dari senin hingga jum’at di atas krl AC Benteng Ekspress yang membawaku pergi dan pulang dari tempat kerjaku. Radith yang rajin mengamatiku dari kejauhan, tanpa bicara tanpa kata-kata. Sesekali aku mendengarnya bercakap-cakap dengan penumpang lain, sekali waktu aku mendengar seseorang memanggilnya ”Radith”, selebihnya aku hanya senantiasa menemukannya sedang memandangiku dari kejauhan. Lama kelamaan aku menjadi terbiasa dengan sepasang mata Radith yang menatapku dari kejauhan, seperti terbiasanya aku membeli tiket sebelum naik krl AC Benteng Ekspress.

Suatu ketika aku tidak merasakan tatapan sepasang mata dari kejauhan.
Aku meneliti setiap penumpang satu persatu mencari seraut wajah yang mulai kukenal.
Seraut wajah Radith, yang mengingatkanku pada Jeff. Ada kemiripan yang signifcant antara garis wajah Radith dengan Jeff, hanya berbeda pada gaya rambut yang membingkai wajahnya. Mungkinkah hal ini yang menjadi penyebab aku menyukai tatapan diam Radith dari kejauhan? Entahlah aku tidak tau. Aku hanya tau, hari itu ketika tidak kutemukan sosok Radith diantara penumpang kereta, aku merasa galau. Aku hanya tau, ketika tidak kurasakan tatapan Radith dari kejauhan, aku merasa kehilangan. Sesuatu yang giris terasa menggigit hatiku, aku kehilangan tatapan sepasang mata Radith.

Sejak itu, aku mulai rajin meneliti satu persatu calon penumpang krl AC Benteng Ekspress yang menunggu di peron. Aku baru merasa lega sampai kutemukan sosok Radith. Aku baru merasa tenang sampai sepasang mata Radith menatapku dari kejauhan. Aku mulai mengenali riak emosi dalam diriku ketika kutemukan Radith atau ketika tidak kulihat Radith.

Aku tidak mengenal Radith dan tidak pernah mencoba mengenal Radith.
Namun eksistensi Radith didekatku mampu mempengaruhi emosi dalam diriku. Aku melihatnya bicara, aku menemukannya tersenyum pada penumpang lain, tidak padaku. Hanya tatapan diam dari kejauhan yang Radith berikan padaku sepanjang perjalanan Jakarta – Tangerang. Hingga hari ini, Radith menjajari langkahku ketika turun dari kereta.
”Hai... nama elo Geby, bukan?” sapanya, tidak seperti biasanya.
”Elo tinggal di kompleks kehakiman, bukan?” aku menganggukkan kepala.
”Dan ini no handphone elo, bukan?”
Kali ini aku tidak hanya mengaggukkan kepala, tapi juga membelalakkan mata.
”Darimana elo tau semua itu?” tanyaku heran.
Tidak hanya sikapnya yang lain dari biasanya, tapi karena dia tau terlalu banyak tentang aku, namaku, tempat tinggalku bahkan nomer telponku.
”Tentu saja karena gue mencari tau” jawabnya santai.

Lalu sejak hari itu, Radith tidak lagi hanya memandangku dari kejauhan, tapi selalu berada di sampingku dan bicara padaku. Aku pun tidak hanya bertemu dengannya pada hari kerja saja, hari sabtu dan minggu pun kulewati bersamanya. Aku menemukan seorang teman, benar-benar teman baik yang siap membantuku, perduli padaku dan sangat memperhatikanku.

Aku nyaris melupakan Jeff, kalau saja hari ini Radith tidak menanyakan sesuatu yang terasa janggal di telingaku, sedikit tak asing dan sangat mengusik hatiku.
”Geby, boleh gue tau tiga alasan kenapa elo cuma mau jadi good friend aja?”
Aku terdiam lama. Rasanya... sesuatu menghantam ingatanku. Jeff!
Apa hubungan Radith dengan Jeff?
”Kenapa elo tanyakan itu, gue gak ngerti apa maksud elo?” aku berkilah dengan balik bertanya.
”Maksud gue, apa kita selamanya hanya berteman saja, tidak mungkin menjadi...” ucapannya terhenti ketika aku menukas dengan tidak sabar dan to the point, langsung pada inti persoalan.
”Cukup Radith! Apa hubungan elo dengan Jeff?”
”Gue pernah kenal seorang bernama Jeff, dan pertanyaan elo tadi mengingatkan gue pada Jeff. Sekarang jawab dengan jujur, apa hubungan elo dengan Jeff?” lanjutku memperjelas duduk persoalan.
”Gue dan Jeff adalah...” Radith menggantungkan ucapannya.
”Elo janji gak akan marah kalo gue berterus terang?” tanya nya was-was.
Aku menggelengkan kepala dan mengangkat telapak tanganku mengisyaratkan bahwa aku berjanji. Radith mengeluarkan ponsel nya dan memperlihatkan sebuah sms yang pernah kukirimkan pada Jeff di malam tahun baru. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutku, kupandangi sms itu silih berganti dengan memandangi wajah Radith....
”Kenapa handphone Jeff ada sama elo Radith?” tanyaku lirih.
”Ini handphone gue, Geby” jawab Radith lembut.
“Jadi elo dan Jeff adalah….” aku sungguh tidak bisa percaya.
”Yah, gue adalah Radith, juga Jeff yang pernah elo kenal. Coba perhatikan baik-baik”
Radith mengacak-acak rambutnya, lalu... yang berdiri di depanku adalah Jeff!
”Bagaimana mungkin...” ucapku pelan dan masih sulit untuk percaya.
”Nama gue Radithya Jeff Prasetya, biasa dipanggil Radith. Hanya keluarga dan temen-temen deket saja yang selalu memanggil gue dengan nama Jeff” ujar Radith menjelaskan.
”Tapi Jeff... maksud gue ahh siapa pun nama elo, elo gak mau berteman dengan gue. Kenapa?”
”Geby, gue bukan gak mau bertemen sama elo. Justru sebaliknya gue gak bisa mengeluarkan elo dari kepala gue, sulit banget untuk melupakan elo. Seakan-akan gue sudah kenal deket sama elo. Bagaimana mungkin...” pengakuannya sungguh tidak kuduga.
”Karena itulah gue berusaha mengingkari perasaan gue. Gue sengaja menjauh dari elo, menjauhkan temen-temen gue dari elo, gue pikir kalo elo membenci gue maka semuanya akan beres. Jadi gue memutuskan semua akses komunikasi dengan elo” lanjutnya.
”Gue inget elo tiap hari naik kereta, jadi gue ganti rute ikutan naik kereta. Hanya sekedar untuk bisa liat elo dan gue langsung ngenalin elo begitu gue pertama kali temukan elo di peron. Bagaimana mungkin elo gak ngenalin gue? Pas malem tahun baru elo berharap kita ketemu lagi, gue bingung gimana ngasi tau elo bahwa kita tiap hari ketemu. Bahwa Radith yang elo kenal adalah orang yang sama dengan Jeff. Jadi gue gak reply sms elo karena gue bingung mesti bilang apa”

Aku diam kehilangan kata-kata. Hati memang tidak dapat berbohong.
Jeff yang membuatku lelah, dan Radith yang perhatiannya mengobati kelelahanku ternyata orang yang sama. Mataku mungkin dapat dikelabui, tapi hatiku tidak.
”Jadi gue harus panggil elo Radith atau Jeff?” tanyaku ketika akhirnya dapat bicara.
”Suka-suka elo. Mana yang lebih elo sukai, gue sebagai Radith atau Jeff?” tanya nya kocak.
”Dua-duanya”
”Sungguhkah elo cuma mau jadi good friend aja? Karena gue sekarang mau lebih dari sekedar temen baik. Apa boleh?”
”Tentu boleh” jawabku refleks
”Elo mau jadi pacar Radith atau Jeff?” tanya nya kocak.
”dua-dua nya” jawabku.

Tiba-tiba kelelahan yang membebani hatiku sirna digantikan dengan percikan hangat memenuhi ruang batinku. Jantungku berdebar-debar ketika tatapan Radithya Jeff Prasetya mendadak terasa begitu lembut, hangat memagut hatiku.... Ternyata kecocokan jiwa yang kurasakan ketika pertama mengenalnya, juga dia rasakan pada tempat, waktu dan jeda yang sama. Sekalipun pernah coba diingkari, kecocokan jiwa akan selalu menyatukan dua hati.
Getarannya akan beresonansi sempurna melahirkan percikan cinta....

ooOoo
Tangerang, 14 Januari 2005
Written by: Anita Lindawaty

January 3, 2009

Es Krim Kerinduan (Cerpen Ketiga dari Trilogy Cerpen)

Dan inilah spektrum waktu
Dalam rangkaian lintasan cahaya
Di ujung horizon aku menunggu
Hujan rindu yang ditasbiskan senja
Sementara
Pikiran kita terus menerus
Mengeraskan ikatannya


Senja yang temaram
Hujan yang kita tunggu
Tersesat dalam kenangan


Alicia menutup novel Biru karya Fira Basuki yang sedang dibacanya. Salah satu nama tokoh ceritanya mengingatkan Alicia pada seseorang. Alicia meraih ponselnya dan mulai asik mengetikkan sms:
“Aku inget nama anak yang nulis puisi pemburu kecil, Benny SI ’97, kenal gak Djo?”Setelah mengirimkan sms nya, Alicia kembali menekuni novel yang tadi dibacanya. Belum tuntas baca tentang tokoh Pura,ponselnya bordering, mungkin sms balasan dari Tedjo.
“iya, kenal. Kok tiba-tiba inget puisi itu mbak? Btw, masih di Jakarta? Aku sekarang di Jakarta”
Setelah me-reply sms Tedjo, Alicia menutup novelnya dan ingatannya melayang pada si pengirim sms barusan.

Tedjo, sosok tinggi menjulang dengan paras imutnya yang senantiasa tampak teduh. Siapa yang mengira dia lima tahun lebih muda dari Alicia, ketika berada didekatnya Alicia tampak begitu mungil.

Alicia ingat pertama kali melihatnya di ruang server kampus, duduk memandangi monitor komputer dengan seriusnya. Alicia melihat seputar ruangan mencari Mumuh, namun tidak menemukan sobat yang dicarinya. Alicia mengetuk pintu ruang server yang sedikit terbuka sehingga sosok serius itu mengalihkan perhatiannya dari monitor.
“Maaf Mas, liat Mumuh gak? Mumuh bilang Aku boleh scan foto di sini, tadi waktu telnet
“Oh… silahkan, pake aja. Tuh scanner nya dan pake komputer yang ini. Tapi maaf Aku gak bisa bantu karena Aku sendiri gak pernah pake”
“Gak pa-pa, Aku pernah pake scanner ini jadi udah tau caranya. Emm… ngomong-ngomong Mumuh kemana ya, tadi dia bilang mo nungguin di sini”
“Mumuh tadi ada di sini kok, mungkin lagi keluar sebentar”Alicia mulai scan foto dan sosok serius di sampingnya jadi terabaikan. Lagian dia juga kembali asik dengan monitor dihadapannya. Alicia melirik sekilas, sepertinya dia sedang ngedesain web pake dreamweaver.

Beberapa saat kemudian suara Mumuh memecahkan kesunyian yang sempat bersemayam di ruangan itu.
“Hei… Alice! Sorry, udah lama? Aku barusan kepergok dosen pembimbing TA ku, jadi terpaksa menghadap deh” sapa Mumuh dengan senyum lebar merekah di wajahnya yang selalu ceria.
“Lagian kenapa mesti petak umpet gitu sih, udah sana buruan aja maju sidang biar sekalian beres dan bisa konsen ke kerjaanmu.”
“Iya nih rencananya sih tanggal 20 ntar aku sidangnya, cuma dosenku gak bisa. Nih liat emailnya yang dikirim kemarin. Tadi kebetulan kepergok, jadi dipanggil menghadap deh”
“Ya udah, ntar kasi tau yah kapan sidangnya biar Aku bisa do’ain.”
“Makasih Alice. Oh iya, udah kenal belom nih… Ini Tedjo, angkatan ’98, admin juga di sini.”

Sejak itu Alicia sering ngobrol dengan Tedjo melalui telnet dalam kesempatan log-in di beberapa server kampus. Ngobrolin software untuk bikin website. Alicia dengan mudah membuka diri dan tak jarang ngobrolin masalah pribadi yang hanya bisa Alicia lakukan dengan orang yang Alicia percayai. Mendengarkan Tedjo curhat pun suatu keasikan tersendiri buat Alicia, apalagi kalo bisa bantu sumbang saran terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Terkadang Alicia sendiri surprise dengan komentar dan opini yang dikemukakan Tedjo. Untuk pemuda seusianya, pemikiran Tedjo beberapa langkah lebih maju dan mature. Tak heran jika sejak itu Alicia sudah tidak lagi perduli dengan perbedaan usia bahkan nyaris melupakannya, kecuali pada saat-saat tertentu dimana Alicia dipaksa mengingat kesenjangan itu.

***

“Mbak Alice sekarang dimana? Masih di Surabaya ataukah sudah di Jakarta?” suara manja Sita berkumandang melalui speaker ponsel Alicia.
“Sudah di Jakarta Sayang. Maaf, mbak belom sempet telpon Sita, masih sibuk beres-beres nih.”
“Trus kapan dong ke sini nya? Sita kangen nih…"
“Ntar deh mbak Alice telpon Sita kalo dah ada kesempatan. Sabar yah mbak kan bakal lama di Jakarta nya.”
“iya deh, janji yah mbak, awas kalo bo’ong!”
“Iya Sayang, emang kapan coba mbak Alice bohong sama Sita? Mbak sebenernya masih mau ngobrol banyak sama Sita, tapi nih kerjaan mbak masih bertumpuk ntar gak kelar-kelar deh. Gimana kalo kita ngobrol lagi ntar kalo mbak ke sana, ok?”
“Ho-oh deh, daa mbak Alice…”
Alicia menutup telponnya dan menghela nafas dalam-dalam.
“Ops… akhirnya! Kali ini masih selamet, lain kali aku harus nemu alasan lain untuk tidak ke rumahnya. Aku bener-bener belom siap untuk ketemu Among” batin Alicia galau.

Masih jelas dalam ingatan Alicia kapan kegalauan ini berawal. Ketika sebulan sebelum kepindahan Alicia ke Jakarta, Among menjumpainya di Surabaya. Pertanyaan Among seharusnya tidak mengejutkan Alicia, tapi Alicia sama sekali tidak menduga dengan keseriusan Among. Kalau saja Among sekedar mengungkapkan rahasia hatinya, mungkin Alicia gak akan segalau ini, tapi menikah?? Among menanyakan kesediaan Alicia untuk mengayuh bahtera rumah tangga bersamanya. Ini masalah pilihan hidup, gak bisa dibikin main-main!

***

Alicia – Diks
Yahoo! Messenger
Instans Message
7 sepetember 2003

Hai diks!
Hhh… akhirnya berhasil juga Aku install YM nya.
Sudah lama yah? Tadi aku sempet kirim email sih, udah baca?
Udah
Maklum pake dial up gini lambat banget deh.
Masa Aku download 2,7 MB aja gagal mulu.
Repot banget kan…Btw, pa kabar nih…
Alice, sekarang Aku punya ce
Oh ya?
Ce yang mana?
Ce asli
Aslinya mana mas?
Di rumah
Ooo… dibingkai gak?
Minimal di-laminating yah…
Huzzzhh…
Diks, Aku mo off dulu yah.
Tuh dah ditungguin.
Bye…

“Benarkah Diks sudah jadian? Ataukah memang benar dia dijodohkan dengan perempuan berdarah biru? Jika benar demikian, Aku harus melupakannya. Apa pun yang Aku lakukan tidak akan dapat merubah kodrat dan garis keturunanku. Jika berdarah biru merupakan syarat mutlak untuk bersama Diks, maka lupakan saja!” batin Alicia kelu sekaligus meradang membaur jadi satu. Alicia duduk diam dalam bus dengan pikiran hampa tanpa menghiraukan kebisingan disekitarnya. Kenyataan yang diketahuinya barusan memukul telak hatinya dan meremukkan semua asanya. Kekosongan itu tiba-tiba menyergap batinnya.

Ironis sekali, di abad millenium begini ada sisa-sisa feodal yang begitu kental. Bahagiakah Diks dengan kehidupannya sekarang? Akan bahagiakah Diks dengan pilihan orang tuanya? Jika ternyata Diks bahagia, maka Alicia harus ikhlas. Tidak ada yang lebih berharga selain menyaksikan Diks bahagia. Sekali pun itu berarti kegelapan bagi Alicia. Lebih ironis lagi seorang Diks dengan tingkat pendidikan demikian tinggi masih sudi dijajah tirani kekuasaan orang tuanya. Ataukah Diks sengaja mengarang dusta karena Diks tidak merasakan seperti yang Alicia rasakan? Ini bagian tersulit dalam perjalanan hati.

“Oh Tuhan, mengapa Aku selalu menyayangi orang yang salah? Mengapa selalu ada luka yang menganga di sepanjang jalan waktu yang aku lalui? Ya Ilahi yang pengasih, beri aku kekuatan untuk bertahan. Jika ini bernama badai, semoga tidak berkepanjangan” do’a Alicia di keheningan malam dalam sujudnya dan butiran bening itu pun luruh dari matanya menyirami sajadah.

***

“Among?? Darimana dia bias tahu alamat tempat tinggalku?” bisik hati Alicia.
Di beranda depan rumah tampak Among sedang berbincang dengan paman Alicia.
Among berdiri menghampiri Alicia, menjabat tangan Alicia dan menatap Alicia tajam seakan dapat membaca semua tanya yang berkecamuk di kepala Alicia.
“Kalo kambingnya gak mau diseret ke air, biarlah air yang mendatanginya” ujarnya berpribahasa.
“Siapa nih yang jadi kambingnya?” Tanya Alicia keki.
“Sebentar yah Aku mandi dan sholat dulu. Ngobrol aja dulu sama Om. Alice permisi dulu Om” pamit Alicia sambil berlalu.

“Gila! Mau apa Among kemari? Apa dia sudah menceritakannya pada Om? Huh! Awas aja kalo dia sampe menyinggung masalah pernikahan itu pada Om. Bagaimana mungkin dia mengatakannya sementara Aku belom jawab apa-apa” bisik hati Alicia gemes.
Seratus satu spekulasi berkecamuk di benak Alicia yang membuat sholat Alicia jadi gak khusu’. Abis sholat fardhu Alicia melanjutkan dengan sholat istiharah, untuk kesekian kalinya Alicia berdo’a semoga Allah menunjukkan keputusan terbaik yang harus diambilnya dan benar-benar yakin dengan jawaban yang akan diberikannya pada Among.

“Om… permisi dulu, mau ajak Alice ke luar sebentar” pamit Among pada paman Alicia, setelah Alicia muncul di beranda sudah rapid an segar.
“Silahkan nak Among, asal jangan pulang terlalu malam”
“Bagaimana kamu bisa menemukan tempat tinggalku Mong?” tanya Alicia tak sabar ketika mereka telah berada di jalan menembus macetnya Jakarta di malam hari.
“Ada deh… rahasia dong Alice. Namanya juga cinta, semua usaha wajib ditempuh” jawabnya ringan.
“Belom makan bukan? Mau kemana nih?”
“Terserah yang ngajak pergi dong. Cuma sebaiknya gak usah jauh-jauh deh, ntar kemaleman pulangnya. Di sepanjang Jl. Raya Kalimalang juga banyak tempat makan”
OK… mau makan apaan nih?”
Up to you, asal jangan makan orang” canda Alicia.
“Alice, kamu sudah mempertimbangkan permintaanku? Apa kamu sudah menemukan jawaban dari pertanyaanku?” Tanya Among to the point setelah mereka selesai menyantap makanan yang terhidang.
“Insya Allah… Aku sudah mempertimbangkannya baik-baik”
“Lalu?? Bersediakah kamu menikah denganku”
"Sebelumnya terima kasih untuk semua perhatian dan kasih sayangmu, Mong. Aku sangat menghargainya dan bersyukur pernah mengenalmu. Tapi aku mohon maafkan aku Mong, aku gak bisa… Sungguh aku gak bisa menikah denganmu. Aku mohon kamu mau mengerti dan tidak sakit hati padaku.”
“Mengapa Alice… katakan padaku apa yang salah?” tanya Among lirih setelah lama terdiam dan berhasil mengatasi goncangan perasaannya.
“Karena kamu sudah seperti saudara kandung bagiku”
“Aku mau jadi suami kandungmu, Alice” jawabnya gemas.
“Katakan sejujurnya Alice, apa ada laki-laki lain di hatimu?”
“Among… Please, Try to understand me! Setiap kali aku menatapmu, aku seperti sedang berhadapan dengan almarhum Mas Rio. Setiap kali aku bersamamu seperti sekarang ini misalnya, aku merasa seperti sedang menghianati Mas Rio. Cobalah mengerti, aku mohon pahamilah Mong. Jika aku menerima lamaranmu dan menikah denganmu, apa mungkin aku bisa menghabiskan sisa usiaku dengan rasa bersalah dan kegalauan yang berkepanjangan? Bukan pernikahan seperti itu yang aku inginkan. Jika suatu hari nanti Allah izinkan aku melangsungkan pernikahanku, aku ingin merasakan ketenangan dalam pernikahan itu sehingga aku bias membahagiakan orang yang Allah pilihkan untuk menjadi suamiku.”
“Tapi Mas Rio sudah pergi untuk selamanya, Alice! Bagaimana mungkin hatimu terus-terusan terbelenggu begini. Kamu berhak bahagia, alice. Dan aku akan berusaha membuatmu bahagia… percayalah aku mencintaimu, Alice…”
"Aku percaya Mong, aku bisa merasakannya. Tapi maafkan aku, sungguh maafkan aku. Aku sudah sholat istiharah berulang-ulang dan aku yakin kita ditakdirkan untuk bersaudara bukan menikah…”
“Omong kosong! Pasti ada laki-laki lain di hatimu, akuilah Alice. Aku bisa merasakannya. Siapa dia Alice, kamu pernah janji untuk mengatakannya padaku. Apakah kamu sungguh-sungguh mencintainya?”
"Baiklah, iya! Aku sungguh menyayanginya. Tapi bukan karena dia aku tidak bisa menikah denganmu, Mong. Sama sekali bukan karena dia… Karena aku juga tidak mungkin menikah dengannya…”
“Mengapa?”
“karena aku tidak berdarah biru!”
“Apakah kamu yakin dia juga mencintaimu, Alice? Apakah dia mencintamu seperti aku mencintaimu? Karena jika memang kalian saling mencintai, seharusnya alasan klise seperti perbedaan status sosial, usia dan suku bangsa seharusnya tidak menjadi penghalang”
“Justru itu Mong, aku tidak pernah tau seperti apa perasaannya padaku. Aku hanya tau aku menyayanginya dan ingin bersamanya. Tapi sekarang aku tau aku harus melupakannya”
“Kalau begitu cari tau seperti apa perasaannya padamu, sebelum kamu memutuskan untuk melupakannya. Jangan buat keputusan keliru yang akan kamu sesali nantinya. Jika aku tidak bisa membahagiakanmu, setidaknya aku ingin melihatmu bahagia, Alice.”
“Percuma Mong! Apapun yang dia rasakan padaku tidak akan merubah kodratku, aku tidak berdarah biru. Orang tuanya tidak mungkin merestui dan aku tidak mau menikah tanpa restu orang tua. Kisah cinderela hanya ada di dongeng.”
“Baiklah Alice, kita memang tidak dapat memilih pada siapa kita jatuh cinta. Kita hanya dapat memutuskan apa yang akan kita lakukan dengan cinta yang kita rasakan dan berharap bahwa kita tidak membuat keputusan keliru. Walau aku sangat ingin menghabiskan sisa usiaku bersamamu, tapi aku tidak punya pilihan dan aku tidak bisa memaksa bukan?” ucap Among lirih.

Among benar, untuk urusan jatuh kita tidak dapat memilih… At least, saat ini Among mau mengerti, itu sudah cukup melegakan Alicia.
“Mulai sekarang, bolehkah aku memanggilmu Mamong seperti yang biasa dilakukan Sita?"
"Boleh, dengan satu syarat: aku boleh tetap menyayangimu dan melindungimu seperti yang biasa aku lakukan terhadap Sita” jawab Among.
“Aku tak kan sanggup membencinya dan tak kan kubiarkan siapapun menyakitinya” lanjut Among dalam hati.
“Tentu… Tentu saja Mamong boleh menyayangi siapa pun. Itu hak azazi Mamong, bisa dituntut komnas HAM aku kalo berani melarang Mamong. Tapi coba liat tuh, sekarang jam berapa, aku gak rela kalo Mamong diomelin Om. Pulang yookkk…”

Saat detik cinta menyentuh kalbu.
Akankah manusia menjadi bijak.
Meredakan ambisi untuk memiliki seseorang.
Menemaninya sebatas sahabat.
Membantunya meraih asa dan bahagia.
Menghapus duka, tanpa pamrih.
Itulah yang Among lakukan terhadap Alicia, refleksi dari keluhuran kasihnya pada Alicia.

***

Mungkinkah bila kubertanya
Pada bintang-bintang
Dan bila kumulai merasa
Bahasa kesunyian

Sadarkan aku yang berjalan
Dalam kehampaanTerdiam, terpana, terbata
Semua dalam keraguan
Aku dan semua
Yang terluka karena cinta
Aku kan menghilang
Dalam pekat malam
Lepas ku melayang

Biarlah ku bertanya
Pada bintang-bintang
Tentang arti cinta
Dalam mimpi yang sempurna

Alunan lagu Mimpi Yang Sempurna yang dilantunkan Peterpan, benar-benar sempurna melukiskan warna hati Alicia saat ini. Wajah teduh Tedjo membayang nyata menyibak kehampaan dalam pekat malam. Alicia meraih ponselnya dan menuliskan pesan singkat:
“I miss u so much” dan mengirimkan pesan smsnya pada Tedjo.

Getaran kupu-kupu menyentuh hatinya, sesuatu yang lembut selembut es krim vanilla, dan sebentuk kehangatan perlahan memenuhi ruang hati Alicia. Kapan terakhir kalinya Alicia merasakan keindahan ini? Pernahkah terjadi dalam perjalanan hidupnya? Ataukah ini yang pertama kalinya? Kerinduan yang lembut menyentuh ruang batin Alicia tanpa melahirkan kegalauan, kegelisahan ataupun rasa sakit. Hanya kelembutan es krim dan kehangatan mentari pagi yang memenuhi hatinya. Subhanallah… Sungguh Maha pengasih Ilahi Robbi yang mengatur suka dan sedih dalam irama yang balance layaknya seperti pergantian siang dan malam.

Sudah menjadi kodrat: siapa pun yang akan meraih fajar, haruslah melalui perjalanan malam. Apakah perjalanan malam Alicia akan segera berakhir dan fajar baru kehidupannya akan segera terbit? Semoga… Alicia berdo’a semoga dapat menemukan Tedjo dalam fajar baru kehidupannya.

Terlambat untuk berdusta
Terlambatlah sudah
Menipu sanubari tak semudah kusangka
Yakin akan cintamu yakinkan segalanya
Perlahan dan pasti daku
Kan melangkah menuju damai jiwa

Lirik lagu sakura yang didendangkan Fariz RM mengalun lembut dari ipod Alicia, telak mencambuk kesadarannya.
“haruskah aku mengakui semuanya pada Tedjo? Bagaimana mungkin, begitu banyak perbedaan diantara kami. Tapi menipu sanubari memang tak semudah kusangka” bisik hati Alicia.
Damai jiwa, dimanakah damai jiwa berada? Dimana bisa temukan damai jiwa?

Perbedaan! Jadi kata kuncinya perbedaan? Haruskah kelembutan es krim di hati Alicia lumer karena perbedaan? Akankah kehangatan mentari pagi yang memenuhi ruang batin Alicia lenyap karena perbedaan? Sejuta pertanyaan dan pertikaian mewrnai benak Alicia. Ingin rasanya Alicia mengungkap semua Tanya pada Tedjo, mungkinkah? Mengingat Tedjo sendiri selalu mempertegas perbedaan itu. Perbedaan, mengapa harus menjadi jurang pemisah? Perbedaan, mengapa harus dipertentangkan? Perbedaan, mengapa tidak dapat menjadi sesuatu yang memperkaya jiwa dan memperluas cakrawala berpikir? Tak sanggupkah cinta menjembatani perbedaan, mengatasi perbedaan, menyatukan dua hati yang berbeda?

Alicia sungguh ingin menemukan penjelasan logis dari apa yang saat ini sedang terjadi. Sikap diam Tedjo ymembingungkannya dan cara Tedjo berkonfrontasi dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan yang seakan sedang berusaha menjadikan perbedaan itu sebagai jurang pemisah. Bukankah cinta adalah kecocokan jiwa, seperti yang diungkapkan Khalil Gibran:

Jangan dikira cinta itu datang dari keakraban yang lama dan karena pendekatan yang tekun. Cinta adalah kecocokan jiwa dan jika tidak ada, cinta tidak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad….


ooOoo
Jakarta, 4 Oktober 2003
Written by: Anita Lindawaty
(Buat: Tedjo, terima kasih telah memberikan kelembutan es krim dan kehangatan mentari pagi dalam ruang batin)