January 6, 2009

Sepercik Cinta Diujung Lelah

Jangan dikira cinta itu datang dari keakraban yang lama
dan karena pendekatan yang tekun.
Cinta adalah kecocokan jiwa dan jika itu tidak ada,
cinta tidak akan pernah tecipta dalam hitungan tahun bahkan abad...


-Khalil Gibran-

Aku baru mengenal Jeff empat bulan yang lalu, tapi rasanya seperti sudah empat puluh musim panas kulalui bersamanya. Bagaimana tidak, aku mengenal setiap riak emosi dalam dirinya.
Aku dapat membaca suasana hatinya hanya dari caranya merespon sms yang kukirimkan.
Aku bahkan dapat menemukan motif dibalik setiap tindak tanduknya.
Inikah yang disebut kecocokan jiwa?

Aku baru satu kali bertemu Jeff, tapi rasanya sudah ratusan kali aku melihatnya, merangkai hari bersamanya. Bagaimana tidak, aku dapat melukiskan setiap detail parasnya, setiap ekspresi perubahan emosinya, juga gaya bicara dan caranya tertawa.
Inikah yang disebut kecocokan jiwa?

Aku tidak tahu, namun inilah yang aku rasakan terhadap Jeff.
Entah apa yang Jeff rasakan terhadapku. Mungkin saja Jeff merasakan hal sebaliknya,
atau justru merasakan hal yang sama namun mencoba mengingkarinya.
Entahlah, aku sungguh tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Aku tidak tahu sejak kapan persisnya kelelahan ini menyergapku.
Mungkin sejak Jeff keberatan aku mengenal teman-temannya.
Mungkin sejak Jeff berusaha keras agar aku tidak punya akses untuk berkomunikasi dengan teman-temannya. Atau mungkin sejak Jeff memberikan alasan-alasan tidak logis untuk setiap keberatannya. Entah apa yang dikhawatirkan Jeff jika aku mengenal temannya.
Entahlah, aku tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Aku tidak dapat menghentikan keinginanku untuk menemukan jawaban dari pertanyaan "siapakah Jeff?" sejak hari pertama aku mengenalnya.
Sesuatu yang menarikku untuk mengungkap sosok Jeff secara utuh.
Sesuatu yang melahirkan eksistensi Jeff dalam denyut nadi kehidupanku dan mewarnai hari-hariku dengan komunikasi ponsel dan internet, melintasi batas ruang dan waktu.
"Jeff, udah tidur yah? really sorry kalo ganggu, gue gak bisa tidur nih. Elo masih di bandung yah?" suatu ketika pada dini hati, lewat tengah malam.
"Nggak lah. Kan besok gue kerja. Kok pertanyaannya lucu sih?"
Jeff merespon juga, mesti pertanyaan itu tidak penting dan dilemparkan pada waktu yang tidak semestinya. Aku mengamati sekelilingku, senyap terlelap dalam istirahat malam.
Mendadak sesuatu yang sepele menjadi penting. Aku menemukan seorang teman, aku menemukan Jeff dalam kesendirian malam. Apakah Jeff merasakan kesendirian yang sama? ataukah aku membuatnya terjaga dalam kesendirian?
Entahlah aku sungguh tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Seorang teman, yah seorang teman yang baik. Aku ingin menjadi seorang teman yang baik untuk Jeff. Setiap hari aku merangkai doa yang sama.
"Tuhanku, aku tahu persis Jeff tidak mungkin jatuh cinta padaku. Aku pun tidak memohon kesempatan pacaran apalagi menikah dengan Jeff. Aku hanya mohon padaMu, lembutkan hati Jeff terhadapku agar aku dapat menjadi teman baik buat Jeff dan Jeff menjadi teman baik untukku." Apakah Tuhan setuju denganku dan mengabulkan doaku?
Entahlah aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mencari tau.

Aku merasakan doaku menjadi sumber kekuatanku ketika sikap Jeff mulai melelahkanku.
Aku merasakan doaku menjadi sumber kesabaranku ketika Jeff mulai memancing kemarahanku. Aku merasakan doaku menjadi sumber ketabahanku ketika Jeff menebar jaring konfrontasi.
"Sorry, terserah elo mau bilang gue jahat atau apa, tapi please dong.
Ada beberapa orang yang gak suka dihubungi untuk hal-hal yang tidak terlalu penting.
Mohon dimengerti"
"Dan gue termasuk orang yang seperti itu, jadi mohon pengetiannya.
Dan mohon juga dimengerti, mungkin temen-temen gue tipe orang yang sama kayak gue"
"Kalo 1 - 2 kali pertama mungkin masih dijawab, tapi kalo berikutnya gak dijawab, mohon dimengerti bahwa itu menunjukkan sinyal ketidak-nyamanan. Mohon pengertiannya"

Aku mencoba bijak mensikapinya dengan sepenggal kekuatan, kesabaran dan ketabahan yang bersumber dari doaku.
"Thanks for being honest, Jeff. Semua yang elo bilang itu akan gue pertimbangkan sebagai feedback. Terima kasih sudah mengatakannya dengan sangat sopan.
Tanpa elo minta pun, gue emang harus belajar mengerti banyak hal. By the way, gue sama sekali gak bilang elo jahat kok :-) At least, sekarang gue jadi lebih memahami elo dan semoga ke depannya gue lebih tau what should I do. Sekali lagi, thanks for being honest, Jeff."

Aku menyadari kini, Jeff bahkan tidak ingin berteman denganku.
Jeff memutuskan tali silaturahmi denganku. Jeff merasa terganggu dengan komunikasi yang selama ini terjalin. Aku sangat perduli dengan ketidak-nyamanan yang dirasakan Jeff. Aku sangat ingin membuatnya merasa lebih baik. Pertama kalinya aku sulit memahami apa yang mengganggu perasaannya. Tapi aku hanya ingin menjadi teman baiknya dan Jeff menjadi teman baikku. Aku tidak pernah berhenti memanjatkan doaku, day by day, everyday. Apalagi yang dapat aku lakukan? Aku sungguh tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Detik pergantian tahun sebentar lagi…
“Geby… cepet kemari dan tolong bawa terompetnya. Kita liat kembang api nya dari sini.”
teriakan Radith menggugah lamunanku.
Aku menghampiri Radith dengan terompet di tanganku. Namun anganku melayang pada Jeff. Sedang apa Jeff sekarang? Bersama siapa Jeff melewati pergantian tahun? Entahlah aku tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Aku ingin sekali mengucapkan selamat tahun baru pada Jeff. Aku ingin sekali lagi berjumpa dengan Jeff. Tapi... Jeff tidak ingin aku menghubunginya. Lewat empat puluh menit dari pukul dua dini hari, akhirnya aku putuskan untuk sms Jeff.
”Sulit gue pahami apa yang ganggu perasaan elo tapi gue bisa kasi tiga alasan kenapa gue murni mo jadi good friend aja. Happy New Year, Jeff. I hope we meet again someday :-)”
Mungkin Jeff akan merasa lebih baik jika aku beri tahu tiga alasan mengapa aku hanya bisa menjadi teman baik. Sayangnya Jeff tidak merespon, Jeff tidak bertanya. Artinya Jeff tidak ingin tahu, Jeff tidak perduli dan Jeff benar-benar tidak ingin berteman denganku. Tiba-tiba kelelahan ini mencapai puncaknya, namun tidak kubiarkan merobek jiwaku.
Hanya seorang Jeff yang menolak berteman denganku, bukankah masih ada Radith?

Aku melihat Radith setiap hari pagi dan sore, dari senin hingga jum’at di atas krl AC Benteng Ekspress yang membawaku pergi dan pulang dari tempat kerjaku. Radith yang rajin mengamatiku dari kejauhan, tanpa bicara tanpa kata-kata. Sesekali aku mendengarnya bercakap-cakap dengan penumpang lain, sekali waktu aku mendengar seseorang memanggilnya ”Radith”, selebihnya aku hanya senantiasa menemukannya sedang memandangiku dari kejauhan. Lama kelamaan aku menjadi terbiasa dengan sepasang mata Radith yang menatapku dari kejauhan, seperti terbiasanya aku membeli tiket sebelum naik krl AC Benteng Ekspress.

Suatu ketika aku tidak merasakan tatapan sepasang mata dari kejauhan.
Aku meneliti setiap penumpang satu persatu mencari seraut wajah yang mulai kukenal.
Seraut wajah Radith, yang mengingatkanku pada Jeff. Ada kemiripan yang signifcant antara garis wajah Radith dengan Jeff, hanya berbeda pada gaya rambut yang membingkai wajahnya. Mungkinkah hal ini yang menjadi penyebab aku menyukai tatapan diam Radith dari kejauhan? Entahlah aku tidak tau. Aku hanya tau, hari itu ketika tidak kutemukan sosok Radith diantara penumpang kereta, aku merasa galau. Aku hanya tau, ketika tidak kurasakan tatapan Radith dari kejauhan, aku merasa kehilangan. Sesuatu yang giris terasa menggigit hatiku, aku kehilangan tatapan sepasang mata Radith.

Sejak itu, aku mulai rajin meneliti satu persatu calon penumpang krl AC Benteng Ekspress yang menunggu di peron. Aku baru merasa lega sampai kutemukan sosok Radith. Aku baru merasa tenang sampai sepasang mata Radith menatapku dari kejauhan. Aku mulai mengenali riak emosi dalam diriku ketika kutemukan Radith atau ketika tidak kulihat Radith.

Aku tidak mengenal Radith dan tidak pernah mencoba mengenal Radith.
Namun eksistensi Radith didekatku mampu mempengaruhi emosi dalam diriku. Aku melihatnya bicara, aku menemukannya tersenyum pada penumpang lain, tidak padaku. Hanya tatapan diam dari kejauhan yang Radith berikan padaku sepanjang perjalanan Jakarta – Tangerang. Hingga hari ini, Radith menjajari langkahku ketika turun dari kereta.
”Hai... nama elo Geby, bukan?” sapanya, tidak seperti biasanya.
”Elo tinggal di kompleks kehakiman, bukan?” aku menganggukkan kepala.
”Dan ini no handphone elo, bukan?”
Kali ini aku tidak hanya mengaggukkan kepala, tapi juga membelalakkan mata.
”Darimana elo tau semua itu?” tanyaku heran.
Tidak hanya sikapnya yang lain dari biasanya, tapi karena dia tau terlalu banyak tentang aku, namaku, tempat tinggalku bahkan nomer telponku.
”Tentu saja karena gue mencari tau” jawabnya santai.

Lalu sejak hari itu, Radith tidak lagi hanya memandangku dari kejauhan, tapi selalu berada di sampingku dan bicara padaku. Aku pun tidak hanya bertemu dengannya pada hari kerja saja, hari sabtu dan minggu pun kulewati bersamanya. Aku menemukan seorang teman, benar-benar teman baik yang siap membantuku, perduli padaku dan sangat memperhatikanku.

Aku nyaris melupakan Jeff, kalau saja hari ini Radith tidak menanyakan sesuatu yang terasa janggal di telingaku, sedikit tak asing dan sangat mengusik hatiku.
”Geby, boleh gue tau tiga alasan kenapa elo cuma mau jadi good friend aja?”
Aku terdiam lama. Rasanya... sesuatu menghantam ingatanku. Jeff!
Apa hubungan Radith dengan Jeff?
”Kenapa elo tanyakan itu, gue gak ngerti apa maksud elo?” aku berkilah dengan balik bertanya.
”Maksud gue, apa kita selamanya hanya berteman saja, tidak mungkin menjadi...” ucapannya terhenti ketika aku menukas dengan tidak sabar dan to the point, langsung pada inti persoalan.
”Cukup Radith! Apa hubungan elo dengan Jeff?”
”Gue pernah kenal seorang bernama Jeff, dan pertanyaan elo tadi mengingatkan gue pada Jeff. Sekarang jawab dengan jujur, apa hubungan elo dengan Jeff?” lanjutku memperjelas duduk persoalan.
”Gue dan Jeff adalah...” Radith menggantungkan ucapannya.
”Elo janji gak akan marah kalo gue berterus terang?” tanya nya was-was.
Aku menggelengkan kepala dan mengangkat telapak tanganku mengisyaratkan bahwa aku berjanji. Radith mengeluarkan ponsel nya dan memperlihatkan sebuah sms yang pernah kukirimkan pada Jeff di malam tahun baru. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutku, kupandangi sms itu silih berganti dengan memandangi wajah Radith....
”Kenapa handphone Jeff ada sama elo Radith?” tanyaku lirih.
”Ini handphone gue, Geby” jawab Radith lembut.
“Jadi elo dan Jeff adalah….” aku sungguh tidak bisa percaya.
”Yah, gue adalah Radith, juga Jeff yang pernah elo kenal. Coba perhatikan baik-baik”
Radith mengacak-acak rambutnya, lalu... yang berdiri di depanku adalah Jeff!
”Bagaimana mungkin...” ucapku pelan dan masih sulit untuk percaya.
”Nama gue Radithya Jeff Prasetya, biasa dipanggil Radith. Hanya keluarga dan temen-temen deket saja yang selalu memanggil gue dengan nama Jeff” ujar Radith menjelaskan.
”Tapi Jeff... maksud gue ahh siapa pun nama elo, elo gak mau berteman dengan gue. Kenapa?”
”Geby, gue bukan gak mau bertemen sama elo. Justru sebaliknya gue gak bisa mengeluarkan elo dari kepala gue, sulit banget untuk melupakan elo. Seakan-akan gue sudah kenal deket sama elo. Bagaimana mungkin...” pengakuannya sungguh tidak kuduga.
”Karena itulah gue berusaha mengingkari perasaan gue. Gue sengaja menjauh dari elo, menjauhkan temen-temen gue dari elo, gue pikir kalo elo membenci gue maka semuanya akan beres. Jadi gue memutuskan semua akses komunikasi dengan elo” lanjutnya.
”Gue inget elo tiap hari naik kereta, jadi gue ganti rute ikutan naik kereta. Hanya sekedar untuk bisa liat elo dan gue langsung ngenalin elo begitu gue pertama kali temukan elo di peron. Bagaimana mungkin elo gak ngenalin gue? Pas malem tahun baru elo berharap kita ketemu lagi, gue bingung gimana ngasi tau elo bahwa kita tiap hari ketemu. Bahwa Radith yang elo kenal adalah orang yang sama dengan Jeff. Jadi gue gak reply sms elo karena gue bingung mesti bilang apa”

Aku diam kehilangan kata-kata. Hati memang tidak dapat berbohong.
Jeff yang membuatku lelah, dan Radith yang perhatiannya mengobati kelelahanku ternyata orang yang sama. Mataku mungkin dapat dikelabui, tapi hatiku tidak.
”Jadi gue harus panggil elo Radith atau Jeff?” tanyaku ketika akhirnya dapat bicara.
”Suka-suka elo. Mana yang lebih elo sukai, gue sebagai Radith atau Jeff?” tanya nya kocak.
”Dua-duanya”
”Sungguhkah elo cuma mau jadi good friend aja? Karena gue sekarang mau lebih dari sekedar temen baik. Apa boleh?”
”Tentu boleh” jawabku refleks
”Elo mau jadi pacar Radith atau Jeff?” tanya nya kocak.
”dua-dua nya” jawabku.

Tiba-tiba kelelahan yang membebani hatiku sirna digantikan dengan percikan hangat memenuhi ruang batinku. Jantungku berdebar-debar ketika tatapan Radithya Jeff Prasetya mendadak terasa begitu lembut, hangat memagut hatiku.... Ternyata kecocokan jiwa yang kurasakan ketika pertama mengenalnya, juga dia rasakan pada tempat, waktu dan jeda yang sama. Sekalipun pernah coba diingkari, kecocokan jiwa akan selalu menyatukan dua hati.
Getarannya akan beresonansi sempurna melahirkan percikan cinta....

ooOoo
Tangerang, 14 Januari 2005
Written by: Anita Lindawaty

January 3, 2009

Es Krim Kerinduan (Cerpen Ketiga dari Trilogy Cerpen)

Dan inilah spektrum waktu
Dalam rangkaian lintasan cahaya
Di ujung horizon aku menunggu
Hujan rindu yang ditasbiskan senja
Sementara
Pikiran kita terus menerus
Mengeraskan ikatannya


Senja yang temaram
Hujan yang kita tunggu
Tersesat dalam kenangan


Alicia menutup novel Biru karya Fira Basuki yang sedang dibacanya. Salah satu nama tokoh ceritanya mengingatkan Alicia pada seseorang. Alicia meraih ponselnya dan mulai asik mengetikkan sms:
“Aku inget nama anak yang nulis puisi pemburu kecil, Benny SI ’97, kenal gak Djo?”Setelah mengirimkan sms nya, Alicia kembali menekuni novel yang tadi dibacanya. Belum tuntas baca tentang tokoh Pura,ponselnya bordering, mungkin sms balasan dari Tedjo.
“iya, kenal. Kok tiba-tiba inget puisi itu mbak? Btw, masih di Jakarta? Aku sekarang di Jakarta”
Setelah me-reply sms Tedjo, Alicia menutup novelnya dan ingatannya melayang pada si pengirim sms barusan.

Tedjo, sosok tinggi menjulang dengan paras imutnya yang senantiasa tampak teduh. Siapa yang mengira dia lima tahun lebih muda dari Alicia, ketika berada didekatnya Alicia tampak begitu mungil.

Alicia ingat pertama kali melihatnya di ruang server kampus, duduk memandangi monitor komputer dengan seriusnya. Alicia melihat seputar ruangan mencari Mumuh, namun tidak menemukan sobat yang dicarinya. Alicia mengetuk pintu ruang server yang sedikit terbuka sehingga sosok serius itu mengalihkan perhatiannya dari monitor.
“Maaf Mas, liat Mumuh gak? Mumuh bilang Aku boleh scan foto di sini, tadi waktu telnet
“Oh… silahkan, pake aja. Tuh scanner nya dan pake komputer yang ini. Tapi maaf Aku gak bisa bantu karena Aku sendiri gak pernah pake”
“Gak pa-pa, Aku pernah pake scanner ini jadi udah tau caranya. Emm… ngomong-ngomong Mumuh kemana ya, tadi dia bilang mo nungguin di sini”
“Mumuh tadi ada di sini kok, mungkin lagi keluar sebentar”Alicia mulai scan foto dan sosok serius di sampingnya jadi terabaikan. Lagian dia juga kembali asik dengan monitor dihadapannya. Alicia melirik sekilas, sepertinya dia sedang ngedesain web pake dreamweaver.

Beberapa saat kemudian suara Mumuh memecahkan kesunyian yang sempat bersemayam di ruangan itu.
“Hei… Alice! Sorry, udah lama? Aku barusan kepergok dosen pembimbing TA ku, jadi terpaksa menghadap deh” sapa Mumuh dengan senyum lebar merekah di wajahnya yang selalu ceria.
“Lagian kenapa mesti petak umpet gitu sih, udah sana buruan aja maju sidang biar sekalian beres dan bisa konsen ke kerjaanmu.”
“Iya nih rencananya sih tanggal 20 ntar aku sidangnya, cuma dosenku gak bisa. Nih liat emailnya yang dikirim kemarin. Tadi kebetulan kepergok, jadi dipanggil menghadap deh”
“Ya udah, ntar kasi tau yah kapan sidangnya biar Aku bisa do’ain.”
“Makasih Alice. Oh iya, udah kenal belom nih… Ini Tedjo, angkatan ’98, admin juga di sini.”

Sejak itu Alicia sering ngobrol dengan Tedjo melalui telnet dalam kesempatan log-in di beberapa server kampus. Ngobrolin software untuk bikin website. Alicia dengan mudah membuka diri dan tak jarang ngobrolin masalah pribadi yang hanya bisa Alicia lakukan dengan orang yang Alicia percayai. Mendengarkan Tedjo curhat pun suatu keasikan tersendiri buat Alicia, apalagi kalo bisa bantu sumbang saran terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Terkadang Alicia sendiri surprise dengan komentar dan opini yang dikemukakan Tedjo. Untuk pemuda seusianya, pemikiran Tedjo beberapa langkah lebih maju dan mature. Tak heran jika sejak itu Alicia sudah tidak lagi perduli dengan perbedaan usia bahkan nyaris melupakannya, kecuali pada saat-saat tertentu dimana Alicia dipaksa mengingat kesenjangan itu.

***

“Mbak Alice sekarang dimana? Masih di Surabaya ataukah sudah di Jakarta?” suara manja Sita berkumandang melalui speaker ponsel Alicia.
“Sudah di Jakarta Sayang. Maaf, mbak belom sempet telpon Sita, masih sibuk beres-beres nih.”
“Trus kapan dong ke sini nya? Sita kangen nih…"
“Ntar deh mbak Alice telpon Sita kalo dah ada kesempatan. Sabar yah mbak kan bakal lama di Jakarta nya.”
“iya deh, janji yah mbak, awas kalo bo’ong!”
“Iya Sayang, emang kapan coba mbak Alice bohong sama Sita? Mbak sebenernya masih mau ngobrol banyak sama Sita, tapi nih kerjaan mbak masih bertumpuk ntar gak kelar-kelar deh. Gimana kalo kita ngobrol lagi ntar kalo mbak ke sana, ok?”
“Ho-oh deh, daa mbak Alice…”
Alicia menutup telponnya dan menghela nafas dalam-dalam.
“Ops… akhirnya! Kali ini masih selamet, lain kali aku harus nemu alasan lain untuk tidak ke rumahnya. Aku bener-bener belom siap untuk ketemu Among” batin Alicia galau.

Masih jelas dalam ingatan Alicia kapan kegalauan ini berawal. Ketika sebulan sebelum kepindahan Alicia ke Jakarta, Among menjumpainya di Surabaya. Pertanyaan Among seharusnya tidak mengejutkan Alicia, tapi Alicia sama sekali tidak menduga dengan keseriusan Among. Kalau saja Among sekedar mengungkapkan rahasia hatinya, mungkin Alicia gak akan segalau ini, tapi menikah?? Among menanyakan kesediaan Alicia untuk mengayuh bahtera rumah tangga bersamanya. Ini masalah pilihan hidup, gak bisa dibikin main-main!

***

Alicia – Diks
Yahoo! Messenger
Instans Message
7 sepetember 2003

Hai diks!
Hhh… akhirnya berhasil juga Aku install YM nya.
Sudah lama yah? Tadi aku sempet kirim email sih, udah baca?
Udah
Maklum pake dial up gini lambat banget deh.
Masa Aku download 2,7 MB aja gagal mulu.
Repot banget kan…Btw, pa kabar nih…
Alice, sekarang Aku punya ce
Oh ya?
Ce yang mana?
Ce asli
Aslinya mana mas?
Di rumah
Ooo… dibingkai gak?
Minimal di-laminating yah…
Huzzzhh…
Diks, Aku mo off dulu yah.
Tuh dah ditungguin.
Bye…

“Benarkah Diks sudah jadian? Ataukah memang benar dia dijodohkan dengan perempuan berdarah biru? Jika benar demikian, Aku harus melupakannya. Apa pun yang Aku lakukan tidak akan dapat merubah kodrat dan garis keturunanku. Jika berdarah biru merupakan syarat mutlak untuk bersama Diks, maka lupakan saja!” batin Alicia kelu sekaligus meradang membaur jadi satu. Alicia duduk diam dalam bus dengan pikiran hampa tanpa menghiraukan kebisingan disekitarnya. Kenyataan yang diketahuinya barusan memukul telak hatinya dan meremukkan semua asanya. Kekosongan itu tiba-tiba menyergap batinnya.

Ironis sekali, di abad millenium begini ada sisa-sisa feodal yang begitu kental. Bahagiakah Diks dengan kehidupannya sekarang? Akan bahagiakah Diks dengan pilihan orang tuanya? Jika ternyata Diks bahagia, maka Alicia harus ikhlas. Tidak ada yang lebih berharga selain menyaksikan Diks bahagia. Sekali pun itu berarti kegelapan bagi Alicia. Lebih ironis lagi seorang Diks dengan tingkat pendidikan demikian tinggi masih sudi dijajah tirani kekuasaan orang tuanya. Ataukah Diks sengaja mengarang dusta karena Diks tidak merasakan seperti yang Alicia rasakan? Ini bagian tersulit dalam perjalanan hati.

“Oh Tuhan, mengapa Aku selalu menyayangi orang yang salah? Mengapa selalu ada luka yang menganga di sepanjang jalan waktu yang aku lalui? Ya Ilahi yang pengasih, beri aku kekuatan untuk bertahan. Jika ini bernama badai, semoga tidak berkepanjangan” do’a Alicia di keheningan malam dalam sujudnya dan butiran bening itu pun luruh dari matanya menyirami sajadah.

***

“Among?? Darimana dia bias tahu alamat tempat tinggalku?” bisik hati Alicia.
Di beranda depan rumah tampak Among sedang berbincang dengan paman Alicia.
Among berdiri menghampiri Alicia, menjabat tangan Alicia dan menatap Alicia tajam seakan dapat membaca semua tanya yang berkecamuk di kepala Alicia.
“Kalo kambingnya gak mau diseret ke air, biarlah air yang mendatanginya” ujarnya berpribahasa.
“Siapa nih yang jadi kambingnya?” Tanya Alicia keki.
“Sebentar yah Aku mandi dan sholat dulu. Ngobrol aja dulu sama Om. Alice permisi dulu Om” pamit Alicia sambil berlalu.

“Gila! Mau apa Among kemari? Apa dia sudah menceritakannya pada Om? Huh! Awas aja kalo dia sampe menyinggung masalah pernikahan itu pada Om. Bagaimana mungkin dia mengatakannya sementara Aku belom jawab apa-apa” bisik hati Alicia gemes.
Seratus satu spekulasi berkecamuk di benak Alicia yang membuat sholat Alicia jadi gak khusu’. Abis sholat fardhu Alicia melanjutkan dengan sholat istiharah, untuk kesekian kalinya Alicia berdo’a semoga Allah menunjukkan keputusan terbaik yang harus diambilnya dan benar-benar yakin dengan jawaban yang akan diberikannya pada Among.

“Om… permisi dulu, mau ajak Alice ke luar sebentar” pamit Among pada paman Alicia, setelah Alicia muncul di beranda sudah rapid an segar.
“Silahkan nak Among, asal jangan pulang terlalu malam”
“Bagaimana kamu bisa menemukan tempat tinggalku Mong?” tanya Alicia tak sabar ketika mereka telah berada di jalan menembus macetnya Jakarta di malam hari.
“Ada deh… rahasia dong Alice. Namanya juga cinta, semua usaha wajib ditempuh” jawabnya ringan.
“Belom makan bukan? Mau kemana nih?”
“Terserah yang ngajak pergi dong. Cuma sebaiknya gak usah jauh-jauh deh, ntar kemaleman pulangnya. Di sepanjang Jl. Raya Kalimalang juga banyak tempat makan”
OK… mau makan apaan nih?”
Up to you, asal jangan makan orang” canda Alicia.
“Alice, kamu sudah mempertimbangkan permintaanku? Apa kamu sudah menemukan jawaban dari pertanyaanku?” Tanya Among to the point setelah mereka selesai menyantap makanan yang terhidang.
“Insya Allah… Aku sudah mempertimbangkannya baik-baik”
“Lalu?? Bersediakah kamu menikah denganku”
"Sebelumnya terima kasih untuk semua perhatian dan kasih sayangmu, Mong. Aku sangat menghargainya dan bersyukur pernah mengenalmu. Tapi aku mohon maafkan aku Mong, aku gak bisa… Sungguh aku gak bisa menikah denganmu. Aku mohon kamu mau mengerti dan tidak sakit hati padaku.”
“Mengapa Alice… katakan padaku apa yang salah?” tanya Among lirih setelah lama terdiam dan berhasil mengatasi goncangan perasaannya.
“Karena kamu sudah seperti saudara kandung bagiku”
“Aku mau jadi suami kandungmu, Alice” jawabnya gemas.
“Katakan sejujurnya Alice, apa ada laki-laki lain di hatimu?”
“Among… Please, Try to understand me! Setiap kali aku menatapmu, aku seperti sedang berhadapan dengan almarhum Mas Rio. Setiap kali aku bersamamu seperti sekarang ini misalnya, aku merasa seperti sedang menghianati Mas Rio. Cobalah mengerti, aku mohon pahamilah Mong. Jika aku menerima lamaranmu dan menikah denganmu, apa mungkin aku bisa menghabiskan sisa usiaku dengan rasa bersalah dan kegalauan yang berkepanjangan? Bukan pernikahan seperti itu yang aku inginkan. Jika suatu hari nanti Allah izinkan aku melangsungkan pernikahanku, aku ingin merasakan ketenangan dalam pernikahan itu sehingga aku bias membahagiakan orang yang Allah pilihkan untuk menjadi suamiku.”
“Tapi Mas Rio sudah pergi untuk selamanya, Alice! Bagaimana mungkin hatimu terus-terusan terbelenggu begini. Kamu berhak bahagia, alice. Dan aku akan berusaha membuatmu bahagia… percayalah aku mencintaimu, Alice…”
"Aku percaya Mong, aku bisa merasakannya. Tapi maafkan aku, sungguh maafkan aku. Aku sudah sholat istiharah berulang-ulang dan aku yakin kita ditakdirkan untuk bersaudara bukan menikah…”
“Omong kosong! Pasti ada laki-laki lain di hatimu, akuilah Alice. Aku bisa merasakannya. Siapa dia Alice, kamu pernah janji untuk mengatakannya padaku. Apakah kamu sungguh-sungguh mencintainya?”
"Baiklah, iya! Aku sungguh menyayanginya. Tapi bukan karena dia aku tidak bisa menikah denganmu, Mong. Sama sekali bukan karena dia… Karena aku juga tidak mungkin menikah dengannya…”
“Mengapa?”
“karena aku tidak berdarah biru!”
“Apakah kamu yakin dia juga mencintaimu, Alice? Apakah dia mencintamu seperti aku mencintaimu? Karena jika memang kalian saling mencintai, seharusnya alasan klise seperti perbedaan status sosial, usia dan suku bangsa seharusnya tidak menjadi penghalang”
“Justru itu Mong, aku tidak pernah tau seperti apa perasaannya padaku. Aku hanya tau aku menyayanginya dan ingin bersamanya. Tapi sekarang aku tau aku harus melupakannya”
“Kalau begitu cari tau seperti apa perasaannya padamu, sebelum kamu memutuskan untuk melupakannya. Jangan buat keputusan keliru yang akan kamu sesali nantinya. Jika aku tidak bisa membahagiakanmu, setidaknya aku ingin melihatmu bahagia, Alice.”
“Percuma Mong! Apapun yang dia rasakan padaku tidak akan merubah kodratku, aku tidak berdarah biru. Orang tuanya tidak mungkin merestui dan aku tidak mau menikah tanpa restu orang tua. Kisah cinderela hanya ada di dongeng.”
“Baiklah Alice, kita memang tidak dapat memilih pada siapa kita jatuh cinta. Kita hanya dapat memutuskan apa yang akan kita lakukan dengan cinta yang kita rasakan dan berharap bahwa kita tidak membuat keputusan keliru. Walau aku sangat ingin menghabiskan sisa usiaku bersamamu, tapi aku tidak punya pilihan dan aku tidak bisa memaksa bukan?” ucap Among lirih.

Among benar, untuk urusan jatuh kita tidak dapat memilih… At least, saat ini Among mau mengerti, itu sudah cukup melegakan Alicia.
“Mulai sekarang, bolehkah aku memanggilmu Mamong seperti yang biasa dilakukan Sita?"
"Boleh, dengan satu syarat: aku boleh tetap menyayangimu dan melindungimu seperti yang biasa aku lakukan terhadap Sita” jawab Among.
“Aku tak kan sanggup membencinya dan tak kan kubiarkan siapapun menyakitinya” lanjut Among dalam hati.
“Tentu… Tentu saja Mamong boleh menyayangi siapa pun. Itu hak azazi Mamong, bisa dituntut komnas HAM aku kalo berani melarang Mamong. Tapi coba liat tuh, sekarang jam berapa, aku gak rela kalo Mamong diomelin Om. Pulang yookkk…”

Saat detik cinta menyentuh kalbu.
Akankah manusia menjadi bijak.
Meredakan ambisi untuk memiliki seseorang.
Menemaninya sebatas sahabat.
Membantunya meraih asa dan bahagia.
Menghapus duka, tanpa pamrih.
Itulah yang Among lakukan terhadap Alicia, refleksi dari keluhuran kasihnya pada Alicia.

***

Mungkinkah bila kubertanya
Pada bintang-bintang
Dan bila kumulai merasa
Bahasa kesunyian

Sadarkan aku yang berjalan
Dalam kehampaanTerdiam, terpana, terbata
Semua dalam keraguan
Aku dan semua
Yang terluka karena cinta
Aku kan menghilang
Dalam pekat malam
Lepas ku melayang

Biarlah ku bertanya
Pada bintang-bintang
Tentang arti cinta
Dalam mimpi yang sempurna

Alunan lagu Mimpi Yang Sempurna yang dilantunkan Peterpan, benar-benar sempurna melukiskan warna hati Alicia saat ini. Wajah teduh Tedjo membayang nyata menyibak kehampaan dalam pekat malam. Alicia meraih ponselnya dan menuliskan pesan singkat:
“I miss u so much” dan mengirimkan pesan smsnya pada Tedjo.

Getaran kupu-kupu menyentuh hatinya, sesuatu yang lembut selembut es krim vanilla, dan sebentuk kehangatan perlahan memenuhi ruang hati Alicia. Kapan terakhir kalinya Alicia merasakan keindahan ini? Pernahkah terjadi dalam perjalanan hidupnya? Ataukah ini yang pertama kalinya? Kerinduan yang lembut menyentuh ruang batin Alicia tanpa melahirkan kegalauan, kegelisahan ataupun rasa sakit. Hanya kelembutan es krim dan kehangatan mentari pagi yang memenuhi hatinya. Subhanallah… Sungguh Maha pengasih Ilahi Robbi yang mengatur suka dan sedih dalam irama yang balance layaknya seperti pergantian siang dan malam.

Sudah menjadi kodrat: siapa pun yang akan meraih fajar, haruslah melalui perjalanan malam. Apakah perjalanan malam Alicia akan segera berakhir dan fajar baru kehidupannya akan segera terbit? Semoga… Alicia berdo’a semoga dapat menemukan Tedjo dalam fajar baru kehidupannya.

Terlambat untuk berdusta
Terlambatlah sudah
Menipu sanubari tak semudah kusangka
Yakin akan cintamu yakinkan segalanya
Perlahan dan pasti daku
Kan melangkah menuju damai jiwa

Lirik lagu sakura yang didendangkan Fariz RM mengalun lembut dari ipod Alicia, telak mencambuk kesadarannya.
“haruskah aku mengakui semuanya pada Tedjo? Bagaimana mungkin, begitu banyak perbedaan diantara kami. Tapi menipu sanubari memang tak semudah kusangka” bisik hati Alicia.
Damai jiwa, dimanakah damai jiwa berada? Dimana bisa temukan damai jiwa?

Perbedaan! Jadi kata kuncinya perbedaan? Haruskah kelembutan es krim di hati Alicia lumer karena perbedaan? Akankah kehangatan mentari pagi yang memenuhi ruang batin Alicia lenyap karena perbedaan? Sejuta pertanyaan dan pertikaian mewrnai benak Alicia. Ingin rasanya Alicia mengungkap semua Tanya pada Tedjo, mungkinkah? Mengingat Tedjo sendiri selalu mempertegas perbedaan itu. Perbedaan, mengapa harus menjadi jurang pemisah? Perbedaan, mengapa harus dipertentangkan? Perbedaan, mengapa tidak dapat menjadi sesuatu yang memperkaya jiwa dan memperluas cakrawala berpikir? Tak sanggupkah cinta menjembatani perbedaan, mengatasi perbedaan, menyatukan dua hati yang berbeda?

Alicia sungguh ingin menemukan penjelasan logis dari apa yang saat ini sedang terjadi. Sikap diam Tedjo ymembingungkannya dan cara Tedjo berkonfrontasi dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan yang seakan sedang berusaha menjadikan perbedaan itu sebagai jurang pemisah. Bukankah cinta adalah kecocokan jiwa, seperti yang diungkapkan Khalil Gibran:

Jangan dikira cinta itu datang dari keakraban yang lama dan karena pendekatan yang tekun. Cinta adalah kecocokan jiwa dan jika tidak ada, cinta tidak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad….


ooOoo
Jakarta, 4 Oktober 2003
Written by: Anita Lindawaty
(Buat: Tedjo, terima kasih telah memberikan kelembutan es krim dan kehangatan mentari pagi dalam ruang batin)