January 6, 2009

Sepercik Cinta Diujung Lelah

Jangan dikira cinta itu datang dari keakraban yang lama
dan karena pendekatan yang tekun.
Cinta adalah kecocokan jiwa dan jika itu tidak ada,
cinta tidak akan pernah tecipta dalam hitungan tahun bahkan abad...


-Khalil Gibran-

Aku baru mengenal Jeff empat bulan yang lalu, tapi rasanya seperti sudah empat puluh musim panas kulalui bersamanya. Bagaimana tidak, aku mengenal setiap riak emosi dalam dirinya.
Aku dapat membaca suasana hatinya hanya dari caranya merespon sms yang kukirimkan.
Aku bahkan dapat menemukan motif dibalik setiap tindak tanduknya.
Inikah yang disebut kecocokan jiwa?

Aku baru satu kali bertemu Jeff, tapi rasanya sudah ratusan kali aku melihatnya, merangkai hari bersamanya. Bagaimana tidak, aku dapat melukiskan setiap detail parasnya, setiap ekspresi perubahan emosinya, juga gaya bicara dan caranya tertawa.
Inikah yang disebut kecocokan jiwa?

Aku tidak tahu, namun inilah yang aku rasakan terhadap Jeff.
Entah apa yang Jeff rasakan terhadapku. Mungkin saja Jeff merasakan hal sebaliknya,
atau justru merasakan hal yang sama namun mencoba mengingkarinya.
Entahlah, aku sungguh tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Aku tidak tahu sejak kapan persisnya kelelahan ini menyergapku.
Mungkin sejak Jeff keberatan aku mengenal teman-temannya.
Mungkin sejak Jeff berusaha keras agar aku tidak punya akses untuk berkomunikasi dengan teman-temannya. Atau mungkin sejak Jeff memberikan alasan-alasan tidak logis untuk setiap keberatannya. Entah apa yang dikhawatirkan Jeff jika aku mengenal temannya.
Entahlah, aku tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Aku tidak dapat menghentikan keinginanku untuk menemukan jawaban dari pertanyaan "siapakah Jeff?" sejak hari pertama aku mengenalnya.
Sesuatu yang menarikku untuk mengungkap sosok Jeff secara utuh.
Sesuatu yang melahirkan eksistensi Jeff dalam denyut nadi kehidupanku dan mewarnai hari-hariku dengan komunikasi ponsel dan internet, melintasi batas ruang dan waktu.
"Jeff, udah tidur yah? really sorry kalo ganggu, gue gak bisa tidur nih. Elo masih di bandung yah?" suatu ketika pada dini hati, lewat tengah malam.
"Nggak lah. Kan besok gue kerja. Kok pertanyaannya lucu sih?"
Jeff merespon juga, mesti pertanyaan itu tidak penting dan dilemparkan pada waktu yang tidak semestinya. Aku mengamati sekelilingku, senyap terlelap dalam istirahat malam.
Mendadak sesuatu yang sepele menjadi penting. Aku menemukan seorang teman, aku menemukan Jeff dalam kesendirian malam. Apakah Jeff merasakan kesendirian yang sama? ataukah aku membuatnya terjaga dalam kesendirian?
Entahlah aku sungguh tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Seorang teman, yah seorang teman yang baik. Aku ingin menjadi seorang teman yang baik untuk Jeff. Setiap hari aku merangkai doa yang sama.
"Tuhanku, aku tahu persis Jeff tidak mungkin jatuh cinta padaku. Aku pun tidak memohon kesempatan pacaran apalagi menikah dengan Jeff. Aku hanya mohon padaMu, lembutkan hati Jeff terhadapku agar aku dapat menjadi teman baik buat Jeff dan Jeff menjadi teman baik untukku." Apakah Tuhan setuju denganku dan mengabulkan doaku?
Entahlah aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mencari tau.

Aku merasakan doaku menjadi sumber kekuatanku ketika sikap Jeff mulai melelahkanku.
Aku merasakan doaku menjadi sumber kesabaranku ketika Jeff mulai memancing kemarahanku. Aku merasakan doaku menjadi sumber ketabahanku ketika Jeff menebar jaring konfrontasi.
"Sorry, terserah elo mau bilang gue jahat atau apa, tapi please dong.
Ada beberapa orang yang gak suka dihubungi untuk hal-hal yang tidak terlalu penting.
Mohon dimengerti"
"Dan gue termasuk orang yang seperti itu, jadi mohon pengetiannya.
Dan mohon juga dimengerti, mungkin temen-temen gue tipe orang yang sama kayak gue"
"Kalo 1 - 2 kali pertama mungkin masih dijawab, tapi kalo berikutnya gak dijawab, mohon dimengerti bahwa itu menunjukkan sinyal ketidak-nyamanan. Mohon pengertiannya"

Aku mencoba bijak mensikapinya dengan sepenggal kekuatan, kesabaran dan ketabahan yang bersumber dari doaku.
"Thanks for being honest, Jeff. Semua yang elo bilang itu akan gue pertimbangkan sebagai feedback. Terima kasih sudah mengatakannya dengan sangat sopan.
Tanpa elo minta pun, gue emang harus belajar mengerti banyak hal. By the way, gue sama sekali gak bilang elo jahat kok :-) At least, sekarang gue jadi lebih memahami elo dan semoga ke depannya gue lebih tau what should I do. Sekali lagi, thanks for being honest, Jeff."

Aku menyadari kini, Jeff bahkan tidak ingin berteman denganku.
Jeff memutuskan tali silaturahmi denganku. Jeff merasa terganggu dengan komunikasi yang selama ini terjalin. Aku sangat perduli dengan ketidak-nyamanan yang dirasakan Jeff. Aku sangat ingin membuatnya merasa lebih baik. Pertama kalinya aku sulit memahami apa yang mengganggu perasaannya. Tapi aku hanya ingin menjadi teman baiknya dan Jeff menjadi teman baikku. Aku tidak pernah berhenti memanjatkan doaku, day by day, everyday. Apalagi yang dapat aku lakukan? Aku sungguh tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Detik pergantian tahun sebentar lagi…
“Geby… cepet kemari dan tolong bawa terompetnya. Kita liat kembang api nya dari sini.”
teriakan Radith menggugah lamunanku.
Aku menghampiri Radith dengan terompet di tanganku. Namun anganku melayang pada Jeff. Sedang apa Jeff sekarang? Bersama siapa Jeff melewati pergantian tahun? Entahlah aku tidak tahu dan terlalu lelah untuk mencari tau.

Aku ingin sekali mengucapkan selamat tahun baru pada Jeff. Aku ingin sekali lagi berjumpa dengan Jeff. Tapi... Jeff tidak ingin aku menghubunginya. Lewat empat puluh menit dari pukul dua dini hari, akhirnya aku putuskan untuk sms Jeff.
”Sulit gue pahami apa yang ganggu perasaan elo tapi gue bisa kasi tiga alasan kenapa gue murni mo jadi good friend aja. Happy New Year, Jeff. I hope we meet again someday :-)”
Mungkin Jeff akan merasa lebih baik jika aku beri tahu tiga alasan mengapa aku hanya bisa menjadi teman baik. Sayangnya Jeff tidak merespon, Jeff tidak bertanya. Artinya Jeff tidak ingin tahu, Jeff tidak perduli dan Jeff benar-benar tidak ingin berteman denganku. Tiba-tiba kelelahan ini mencapai puncaknya, namun tidak kubiarkan merobek jiwaku.
Hanya seorang Jeff yang menolak berteman denganku, bukankah masih ada Radith?

Aku melihat Radith setiap hari pagi dan sore, dari senin hingga jum’at di atas krl AC Benteng Ekspress yang membawaku pergi dan pulang dari tempat kerjaku. Radith yang rajin mengamatiku dari kejauhan, tanpa bicara tanpa kata-kata. Sesekali aku mendengarnya bercakap-cakap dengan penumpang lain, sekali waktu aku mendengar seseorang memanggilnya ”Radith”, selebihnya aku hanya senantiasa menemukannya sedang memandangiku dari kejauhan. Lama kelamaan aku menjadi terbiasa dengan sepasang mata Radith yang menatapku dari kejauhan, seperti terbiasanya aku membeli tiket sebelum naik krl AC Benteng Ekspress.

Suatu ketika aku tidak merasakan tatapan sepasang mata dari kejauhan.
Aku meneliti setiap penumpang satu persatu mencari seraut wajah yang mulai kukenal.
Seraut wajah Radith, yang mengingatkanku pada Jeff. Ada kemiripan yang signifcant antara garis wajah Radith dengan Jeff, hanya berbeda pada gaya rambut yang membingkai wajahnya. Mungkinkah hal ini yang menjadi penyebab aku menyukai tatapan diam Radith dari kejauhan? Entahlah aku tidak tau. Aku hanya tau, hari itu ketika tidak kutemukan sosok Radith diantara penumpang kereta, aku merasa galau. Aku hanya tau, ketika tidak kurasakan tatapan Radith dari kejauhan, aku merasa kehilangan. Sesuatu yang giris terasa menggigit hatiku, aku kehilangan tatapan sepasang mata Radith.

Sejak itu, aku mulai rajin meneliti satu persatu calon penumpang krl AC Benteng Ekspress yang menunggu di peron. Aku baru merasa lega sampai kutemukan sosok Radith. Aku baru merasa tenang sampai sepasang mata Radith menatapku dari kejauhan. Aku mulai mengenali riak emosi dalam diriku ketika kutemukan Radith atau ketika tidak kulihat Radith.

Aku tidak mengenal Radith dan tidak pernah mencoba mengenal Radith.
Namun eksistensi Radith didekatku mampu mempengaruhi emosi dalam diriku. Aku melihatnya bicara, aku menemukannya tersenyum pada penumpang lain, tidak padaku. Hanya tatapan diam dari kejauhan yang Radith berikan padaku sepanjang perjalanan Jakarta – Tangerang. Hingga hari ini, Radith menjajari langkahku ketika turun dari kereta.
”Hai... nama elo Geby, bukan?” sapanya, tidak seperti biasanya.
”Elo tinggal di kompleks kehakiman, bukan?” aku menganggukkan kepala.
”Dan ini no handphone elo, bukan?”
Kali ini aku tidak hanya mengaggukkan kepala, tapi juga membelalakkan mata.
”Darimana elo tau semua itu?” tanyaku heran.
Tidak hanya sikapnya yang lain dari biasanya, tapi karena dia tau terlalu banyak tentang aku, namaku, tempat tinggalku bahkan nomer telponku.
”Tentu saja karena gue mencari tau” jawabnya santai.

Lalu sejak hari itu, Radith tidak lagi hanya memandangku dari kejauhan, tapi selalu berada di sampingku dan bicara padaku. Aku pun tidak hanya bertemu dengannya pada hari kerja saja, hari sabtu dan minggu pun kulewati bersamanya. Aku menemukan seorang teman, benar-benar teman baik yang siap membantuku, perduli padaku dan sangat memperhatikanku.

Aku nyaris melupakan Jeff, kalau saja hari ini Radith tidak menanyakan sesuatu yang terasa janggal di telingaku, sedikit tak asing dan sangat mengusik hatiku.
”Geby, boleh gue tau tiga alasan kenapa elo cuma mau jadi good friend aja?”
Aku terdiam lama. Rasanya... sesuatu menghantam ingatanku. Jeff!
Apa hubungan Radith dengan Jeff?
”Kenapa elo tanyakan itu, gue gak ngerti apa maksud elo?” aku berkilah dengan balik bertanya.
”Maksud gue, apa kita selamanya hanya berteman saja, tidak mungkin menjadi...” ucapannya terhenti ketika aku menukas dengan tidak sabar dan to the point, langsung pada inti persoalan.
”Cukup Radith! Apa hubungan elo dengan Jeff?”
”Gue pernah kenal seorang bernama Jeff, dan pertanyaan elo tadi mengingatkan gue pada Jeff. Sekarang jawab dengan jujur, apa hubungan elo dengan Jeff?” lanjutku memperjelas duduk persoalan.
”Gue dan Jeff adalah...” Radith menggantungkan ucapannya.
”Elo janji gak akan marah kalo gue berterus terang?” tanya nya was-was.
Aku menggelengkan kepala dan mengangkat telapak tanganku mengisyaratkan bahwa aku berjanji. Radith mengeluarkan ponsel nya dan memperlihatkan sebuah sms yang pernah kukirimkan pada Jeff di malam tahun baru. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutku, kupandangi sms itu silih berganti dengan memandangi wajah Radith....
”Kenapa handphone Jeff ada sama elo Radith?” tanyaku lirih.
”Ini handphone gue, Geby” jawab Radith lembut.
“Jadi elo dan Jeff adalah….” aku sungguh tidak bisa percaya.
”Yah, gue adalah Radith, juga Jeff yang pernah elo kenal. Coba perhatikan baik-baik”
Radith mengacak-acak rambutnya, lalu... yang berdiri di depanku adalah Jeff!
”Bagaimana mungkin...” ucapku pelan dan masih sulit untuk percaya.
”Nama gue Radithya Jeff Prasetya, biasa dipanggil Radith. Hanya keluarga dan temen-temen deket saja yang selalu memanggil gue dengan nama Jeff” ujar Radith menjelaskan.
”Tapi Jeff... maksud gue ahh siapa pun nama elo, elo gak mau berteman dengan gue. Kenapa?”
”Geby, gue bukan gak mau bertemen sama elo. Justru sebaliknya gue gak bisa mengeluarkan elo dari kepala gue, sulit banget untuk melupakan elo. Seakan-akan gue sudah kenal deket sama elo. Bagaimana mungkin...” pengakuannya sungguh tidak kuduga.
”Karena itulah gue berusaha mengingkari perasaan gue. Gue sengaja menjauh dari elo, menjauhkan temen-temen gue dari elo, gue pikir kalo elo membenci gue maka semuanya akan beres. Jadi gue memutuskan semua akses komunikasi dengan elo” lanjutnya.
”Gue inget elo tiap hari naik kereta, jadi gue ganti rute ikutan naik kereta. Hanya sekedar untuk bisa liat elo dan gue langsung ngenalin elo begitu gue pertama kali temukan elo di peron. Bagaimana mungkin elo gak ngenalin gue? Pas malem tahun baru elo berharap kita ketemu lagi, gue bingung gimana ngasi tau elo bahwa kita tiap hari ketemu. Bahwa Radith yang elo kenal adalah orang yang sama dengan Jeff. Jadi gue gak reply sms elo karena gue bingung mesti bilang apa”

Aku diam kehilangan kata-kata. Hati memang tidak dapat berbohong.
Jeff yang membuatku lelah, dan Radith yang perhatiannya mengobati kelelahanku ternyata orang yang sama. Mataku mungkin dapat dikelabui, tapi hatiku tidak.
”Jadi gue harus panggil elo Radith atau Jeff?” tanyaku ketika akhirnya dapat bicara.
”Suka-suka elo. Mana yang lebih elo sukai, gue sebagai Radith atau Jeff?” tanya nya kocak.
”Dua-duanya”
”Sungguhkah elo cuma mau jadi good friend aja? Karena gue sekarang mau lebih dari sekedar temen baik. Apa boleh?”
”Tentu boleh” jawabku refleks
”Elo mau jadi pacar Radith atau Jeff?” tanya nya kocak.
”dua-dua nya” jawabku.

Tiba-tiba kelelahan yang membebani hatiku sirna digantikan dengan percikan hangat memenuhi ruang batinku. Jantungku berdebar-debar ketika tatapan Radithya Jeff Prasetya mendadak terasa begitu lembut, hangat memagut hatiku.... Ternyata kecocokan jiwa yang kurasakan ketika pertama mengenalnya, juga dia rasakan pada tempat, waktu dan jeda yang sama. Sekalipun pernah coba diingkari, kecocokan jiwa akan selalu menyatukan dua hati.
Getarannya akan beresonansi sempurna melahirkan percikan cinta....

ooOoo
Tangerang, 14 Januari 2005
Written by: Anita Lindawaty

No comments:

Post a Comment