December 23, 2008

Cinta Dalam Sepotong Coklat (Cerpen Kedua dari Trilogy Cerpen)

Sisa hujan yang terkurung di sisi rendah aspal jalan
Memantulkan rangkaian taman kupu-kupu
yang saling bersikukuh memukau pasanganya

dilangit,
pelangi yang mengurung lingkar pikiran
menyudutkanku pada pilihan
Digenangi rindu kepadamu, atau tiba-tiba
tersesat dihadapanmu, memandangmu
Sambil terus meyakinkan diri bahwa
selalu ada engkau setelah hujan

“Inikah namanya cinta, oh inikah cinta… cinta pada pandang pertama…” Sita berdendang riang keluar dari kamar mandi dan bersiap mengawali kesibukannya hari ini.
“Ulangan masih minggu depan dan PR juga dah beres” gumamnya senang.
“Sita!! Nyanyi apaan sih.. pagi-pagi kok udah brisik!” teriak Among dari kamarnya.
“Mamong kenapa sih? Gak biasanya bawel gini” ujar Sita sambil nyelonong masuk ke kamar kakaknya, sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya. Sejak kecil Sita sudah terbiasa memanggil Mamong pada Among. Sebenernya mo bilang ‘Mas Among’, tapi lidah mungil “Sita-kecil” agak repot melafalkan huruf ‘s’ sehingga jadilah ‘Mamong’ sebagai panggilan sayang Sita pada Among sampai sekarang.
“Mas harus beresin semua laporan ini Sita! Butuh konsentrasi biar gak salah melulu. Bukannya Mas mo bawel sama Sita..”
“Mamong pusing mikirin mbak Alice yah? Sita perhatiin mamong jadi galak dan uring-uringan mulu sejak…emm sejak kapan ya.. oh, iya.. sejak ke Gambir nganterin mbak Alice” tebak Sita jitu.
“Mamong jahat! Gak mau ngajak Sita ketemu mbak Alice. Tapi kalo Mamong menikah sama mbak Alice, Sita setuju banget biar tiap hari bisa ketemu mbak Alice. Gak kayak sekarang, mo ketemu aja susah!” celoteh Sita tanpa memberi kesempatan pada kakaknya untuk bicara.
“Sudah… sudah… Hayooo sekarang siapa yang bawel? Udah bawel, usil lagi… Anak kecil jangan ikut campur! Sana gih berangkat sekolah, nanti terlambat” ujar Among seraya ngacak-ngacak rabut Sita, penuh rasa sayang.
“Hu-uh… enak aja anak kecil! Siapa yang anak kecil? Taon depan juga Sita udah kuliah” sungut Sita menyisir kembali rambutnya dan berjalan keluar dari kamar kakaknya.
“Inikah namanya cintaaa….”teriak Sita sengaja ngeledek kakaknya.
“Mamong pasti beneran jatuh cinta sama mbak Alice, makanya uring-uringan melulu” gumam Sita sambil nyengir kuda sendirian berjalan ke ruang makan. Seperti biasa, mama telah menyiapkan sarapan pagi. Di meja makan Sita menemukan Ira dan Arung, dua orang kakaknya yang lain, telah siap berangkat kerja.
“Sita bareng mbak Ira aja yah, Mas buru-buru nih” ujar Arung.

Sepeninggal si centil Sita, Among benar-benar kehilangan gairah buat ngeberesin laporan akhir bulan yang harus segera dia serahkan. Perlahan diraihnya telpon dan dengan cepat menekan 10 digit nomor ponsel Alicia. Namun sebelum terdengar nada sambung, Among menekan tombol off dengan cepat. Begitu berulang-ulang, sampai akhirnya Among meletakkan telpon pada induknya lalu duduk di meja kerjanya dengan gundah.
“Jangan-jangan aku beneran jatuh cinta pada Alicia seperti yang dibilang Sita” bisik hatinya galau.

Sebelumnya Among tidak pernah mengenal Alicia dengan baik, hanya tau kalau Mas Rio akan menikah dengan Alicia. Namun Among cukup surprise, ketika datang ke rumah menyaksikan adik-adiknya sangat antusias pada pernikahan Mas Rio dan Alicia. Sepertinya Alicia sudah berhasil merebut perhatian semua adiknya, terutama si bungsu Sita yang tampak lebih dekat dengan Alicia ketimbang Ira yang notabene adalah kakak kandungnya. Alicia diterima baik di rumah ini seakan telah menjadi kakak iparnya.Bahkan papa pun jadi gak ‘seangker’ biasanya kalo ada Alicia di rumah. Sungguh ajaib!

Tapi semua itu gak serta merta bikin Alicia menjadi istimewa di mata Among. Buat Among, Alicia biasa aja seperti halnya perempuan lainnya, hanya bedanya Mas Rio mencintainya sejak 10 tahun yang lalu dan akan menikah dengannya, dengan begitu Alicia akan menjadi kakak iparnya, itu saja. Kenyataan bahwa Sita sangat menyayangi Alicia, sedikit banyak membuat Among mengernyitkan dahi. Sejak kecil Sita paling dekat dengan Among ketimbang kakak-kakaknya yang lain. Semua perhatian, kasih sayang dan kemanjaan Sita sebagian besar tercurah pada Among. Karena itulah Sita juga yang paling terluka ketika empat tahun yang lalu, Among memutuskan pergi dari rumah setelah pertikaian hebat dengan papa tidak jua mencapai titik temu. Dengan wajah berurai air mata Sita memeluknya dan mencoba menghalangi kepergiannya. Tapi Among sudah mengambil keputusan bulat, sehingga meski gak tega ninggalin Sita, Among pergi juga dan berjanji akan sering nelpon Sita juga akan memberikan nomor telponnya pada Sita jika sudah menemukan tempat tinggal baru.

Entah sejak kapan, Among gak inget dengan jelas, tema celoteh Sita berubah menjadi” mbak Alice, mbak Alice dan mbak Alice!” mbak Alice yang bantuin bikin tugas kimia, mbak Alice yang ngajarin matematika, mbak Alice yang beliin boneka kucing, mbak Alice yang… entah apa lagi. Among merasa sedikit tersisih dengan kehadiran ‘mbak Alice’ dalam hari-hari Sita, sepertinya Sita jadi tidak membutuhkannya lagi. Tempatnya di hati Sita telah digantikan oleh ‘mbak Alice’ yang ternyata adalah calon kakak iparnya.

Cemburukah Among pada Alicia? Bisa jadi IYA! Selain mama, Sita adalah segalanya buat Among. Sampai-sampai Among membuat batasan ekstrim: ”perempuan yang akan dinikahinya harus bisa menyayangi Sita!”. Among gak mau berada pada posisi sulit dimana harus membela kepentingan istri atau Sita, adiknya. Karena itulah harus diantisipasi dari awal, masalah ini menjadi prinsipil bagi Among. Mungkin hal ini juga yang menjadi pemicu putusnya hubungan kasih Among dengan Amy, perempuan yang sudah tiga tahun menjadi pacarnya. Amy smart dan elegan, meski agak sedikit angkuh mungkin karena kepercayaan dirinya yang sedikit over dosis. Tapi Among mencintainya.

Sayangnya Amy tidak pernah cocok dengan Sita. Sita pun terang-terangan membenci Amy. Among sendiri gak habis pikir, Sita sungguh manis, lucu dan manja. Sikapnya selalu menyenangkan, siapa pun akan menyukainya, kecuali Amy tentunya. Kok bisa-bisanya Amy memusuhinya, seakan-akan Sita menjadi penghalang hubungan mereka. Sampai pada suatu pertengkaran, akhirnya Amy memberi ultimatum: pilih Sita atau Amy! Tentu saja tidak sulit bagi Among untuk menentukan pilihannya. Maka sejak itu Among resmi putus dengan Amy dan males buat pacaran lagi.

Pernah suatu ketika Among merasa iri dengan Mas Rio, karena calon istri yang dipilihnya begitu menyayangi Sita dan Sita pun demikian. Sehebat apakah gadis bernama Alicia Prameswari Kencana itu, sehingga dapat merebut segenap perhatian dan kasih sayang Sita. Among ingat, pada hari Mas Rio menghembuskan nafas terakhirnya, Sita begitu histeris dan berteriak:
“Mas Rio jangan pergiiiii….! Jangan tinggalin Sitaaa! Kalo Mas Rio pergi, mbak Alice juga pasti akan pergi ninggalin Sita, gimana dengan Sita. Mas Rio, bangun Mass…”rintih Sita seraya mengguncang-guncangkan tubuh Mas Rio yang diam membeku.
“Mbak Alice batal jadi kakak ipar Sitaaa” ujarnya giris sambil berbalik menatap Alicia yang serta merta memeluk Sita dan membisikkan sesuatu di telinga Sita untuk menenangkannya. Ruangan mendadak sunyi, hanya terdengar isak tangis Sita yang mulai lirih karena sudah terlihat sedikit tenang dalam dekapan Alicia.

Untuk pertama kalinya Among menyaksikan ketegaran di wajah bening Alicia. Meski sarat duka, tapi dapat mengendalikan diri dengan sangat baik, bahkan sanggup menenangkan Sita yang histeris. Sampai 40 hari meninggalnya Mas Rio, Among melihat Sita tidak pernah mau jauh dari Alicia, tampak jelas dia lebih membutuhkan Alicia ketimbang hari-hari sebelumnya.

***

Pada suatu sabtu pagi, Sita datang padanya dengan wajah memohon, meminta Among menemani Alicia ke makam Mas Rio.
“Mamong, Please…! Gantiin Sita nemenin mbak Alice ke makam Mas Rio, kali ini aja. Hari ini Sita ada les tambahan sampe sore di sekolah”
“Ya udah, kenapa gak besok aja ke makamnya? Emang harus hari sabtu? Kayak ngapelin pacar aja!”Melihat bola mata Sita yang membulat dan bibirnya yang cemberut jelek, Among tau dia salah bicara. Mengkritik Alicia di depan Sita sama aja ngajak Sita berantem. Heran, dulu Sita selalu membelanya, tapi sekarang mbak Alice yang dia bela. Bahkan demi mbak Alice tersayang itu, Sita memohon sampai memelototinya.
“Iya deh iya, maaf! Mamong salah bicara, lupa kalo ada undang-undang yang melarang mengkritik, ngeledek, apa lagi menjelek-jelekkan mbak Alice di depan Sita tercinta” ujar Among tapi sama sekali tidak merubah ekspresi wajah Sita. Kalo sudah begini, Among cuma bisa angkat tangan, karena Sita sudah gak mempan dibujuk.
“Iya dehh Mamong mau nemenin mbak Alice ke makam Mas Rio, apalagi sihh… Tapi mbak Alice nya mau gak ditemenin Mamong?”Sekonyong-konyong Sita melompat memeluk lehernya dan mencium pipinya.
“Emm… mamong baik deh! Mbak Alice, biar Sita yang urus, awas ya jangan ngaret!”
Pada detik berikutnya Sita sudah sibuk ngobrol ditelepon.
“Hhhh… pasti deh nelpon mbak Alice tersayangnya” gumam Among keki, seraya mengusap pipinya yang barusan dicium Sita. Kapan terakhir Sita menciumnya? Sudah lama sekali… Sebuah ide brilian tiba-tiba muncul: mungkin sebaiknya aku beramah tamah dengan Alicia jika itu bisa membuat Sita kembali menyayangiku. Bahkan menikah dengan Alicia pun aku mau asalkan dapat merebut kembali semua perhatian Sita!

***

Alicia menolak ketika Among bilang mau nemenin ke makam Mas Rio. Sejenak Among kelimpungan, gawat nih, bisa diamukin Sita!
“Kalo Sita gak bisa, yah gak pa-pa. Sebenernya aku juga sekali-sekali pengen sendirian ke makam Mas Rio” ujar Alicia.
“Tapi makamnya jauh Alice, gak ada salahnya aku temenin. Lagian Mas Rio juga kakakku. Semenjak dimakamkan aku hampir gak pernah nyekar, sedangkan kamu? Setiap akhir minggu, sebagai adiknya aku jadi malu”
“Aku sudah hafal jalannya Mong, kamu ke sana aja sendiri tapi lain kali aja, gak perlu hari ini bukan?” balas Alicia keukeuh. Among benar-benar gemas dibuatnya.
Please Alice, biarkan aku nganterin kamu ke makam Mas Rio. Hari inii ajja, lain kali kamu bisa pergi sendirian ke sana. Aku janji, sampe sana gak akan gangguin kamu kok, kalo kamu mau ngerumpi sama Mas Rio. Maaf, maksudku kalo kamu mau berdo’a. Boleh ya Lice!” bujuk Among panjang lebar.
“Baiklah, hanya kali ini saja!”Cihuyy… berhasil! Rasanya Among mau memeluk Alicia saat itu, karena sudah menyelamatkannya dari murka Sita. Oops… mana boleh! ‘ntar bisa-bisa Alicia membatalkan keputusannya, bisa runyam urusannya.

Selama perjalanan ke makam, awalnya Alicia lebih banyak diam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Namun akhirnya kebekuan diantara mereka mencair. Alicia lumayan asik diajak ngobrol. Hanya saja setiap kali pembicaraan menyinggung Mas Rio, matanya akan segera berkaca-kaca. Among jadi tersentuh dibuatnya. Ada getar halus disudut hatinya.
“Alicia begitu mencintai Mas Rio” bisik hati Among galau.
“Sorry Mong, aku jadi cengeng kalo inget Mas Rio” ujar Alicia malu seraya tersenyum muram.
“Kalo gak ada kamu, kali aku sekarang dah nangis beneran” lanjutnya.
“Ya udah, nangis aja kalo pengen nangis. Mungkin dengan begitu akan terasa lebih lega. Aku bisa ngerti kok, anggep aja aku gak ada dan mobilnya jalan sendiri. Nih, perlu ini gak?” ucap Among seraya mengangsurkan sekotak tissue. Perlahan Alicia menerimanya dan benar-benar tersedu, sementara Among pura-pura gak liat seakan-akan sedang konsentrasi nyetir. Aduh paling gak kuat deh liat perempuan nangis, bawaanya pengen… nangis juga! (jangan ngeres ahh…!)

Setibanya di makam Mas Rio, Alicia seakan melupakan kehadiran Among di sana. Alicia membaca surat yassin dengan berurai air mata. Among meninggalkannya sendirian dan duduk dibawah pohon yang cukup rindang tak jauh dari kuburan Mas Rio. Untuk pertama kalinya Among menyadari ternyata Alicia tak setegar yang terlihat. Dukanya yang teramat mendalam berhasil menyentuh sisi terlembut dalam diri Among. Ingin rasanya Among meraihnya dalam dekapannya dan melindunginya, menghapus lara hatinya.
“Alice, sudah sore, kita pulang yoookk” bisik Among lembut. Alicia kaget menyadari kehadiran Among disampingnya, ternyata dia tidak sendirian. Serta merta ia menghapus air matanya lalu perlahan berdiri meninggalkan makam Mas Rio, setelah sekilas mengusap pusaranya. Mereka berjalan dalam diam, sampai keluar dari kompleks pekuburan.
“Maafkan aku Mong, sampe gak inget kalo aku gak sendirian datang ke sini. Aku cengeng banget yah”
“Iya kamu emang cengeng! Hehehehe, becanda Lice. Ho-oh deh aku maafkan. Tapi Lice, kita memang tidak bisa mencegah burung kedukaan terbang di atas kepala kita, tapi jangan biarkan burung kedukaan itu membuat sarang di atas kepala kita. Kamu mengerti bukan?” ujar Among sok filosofis. Tapi Alicia tercengang medengarnya, seakan baru saja mendapat cambukkan di benaknya.
“Benar yang diucapkan Among, Aku tidak boleh larut dalam kesedihan ini, Aku masih harus melanjutkan hidupku” bisik hati Alicia kelu.
“Mataku bengkak banget yah Mong? Wah, gak enak banget nih” ujar Alicia bingung. Sejenak Among mengamati wajah Alicia seakan sedang memeriksa seberapa perbesaran yang terjadi pada mata Alicia ketimbang ukuran normalnya.
“Wah, iya.. bener-bener bengkak Lice. Wajahmu jadi dua kali lebih besar. Bahaya nih, bisa-bisa kita dikira pasangan yang mau bercerai” jawab Among kocak sehingga Alicia tersenyum kecil. “Kamu bisa aja Mong. Kamu pasti jadi adik ipar yang baik, kalau saja Mas Rio….”
“Hayooo… mulai lagi deh, ntar kalo nangis lagi aku yang repot, mana tissue nya udah abis” canda Among.
“Selain bisa jadi adik ipar yang baik, aku juga berbakat jadi suami yang baik loh Lice” lanjutnya serius, ingin tau respon Alicia. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Among!
“Boleh mama masuk Mong?” tanya mama lembut.
“pagi-pagi kok sudah ngelamun! Makan dulu yoookkk mama temenin. Adik-adikmu semua sudah berangkat. Suasana sepi begini selalu bikin mama inget kakakmu. Kalau kamu menikah, mungkin mama gak akan kesepian seperti ini, Mong”
“Mamaa.. pagi-pagi kok mikirin menantu. Udah deh ma, Among males membahas masalah itu. Sabar aja yah ma, do’ain biar Among cepet nemu menantu yang baik buat mama”
“Alicia pasti bisa jadi menantu yang baik buat mama, tapi sayangnya sepertinya dia telah menemukan orang lain, haruskah Aku menyerah sekarang?” bisik hati Among giris.

***

Alicia menemukan coklat cadbury di dalam tasnya “Pemberian Among kemarin” gumamnya. Among tau aja kegemarannya, pasti Sita yang membocorkan rahasianya. Alicia inget, dulu setiap ke mall bareng Sita, Alicia selalu nyempetin beli coklat cadbury. Sita tau banyak hal yang disukai atau yang tidak disukai Alicia. Karena baik Sita maupun Alicia punya banyak kesamaan. Mulai dari warna favorit sampai masakan kegemaran. Sama-sama suka masak dan bikin kue, tapi paling males beres-beres rumah. Ketika Mas Rio bercerita tentang kepiawaian Sita dalam memasak dan bikin kue, Alicia meragukannya bahkan sedikit gak percaya. Masa iya ada remaja SMU di Jakarta yang doyan ke dapur. Benar-benar langka bukan?

Tapi setelah ketemu Sita dan mencicipi kue buatannya, barulah Alicia percaya. Sejak pertama ketemu Sita, Alicia langsung menyukainya. Pernah suatu kali Mas Rio protes karena merasa diabaikan Alicia, sementara Alicia sibuk mendengarkan Sita curhat.
“Sita, mbak Alice tuh kemari mo ketemu Mas Rio, jangan dimonopoli dong Sayang. Mas Rio juga mau ngobrol sama mbak Alice” protes Mas Rio ketika itu.

Menyenangkan sekali bisa membaur dalam keluarga Mas Rio, mengenal satu persatu adik-adik Mas Rio. Hanya Among yang paling sulit didekati Alicia. Mungkin karena Among gak tinggal di rumah dan jarang banget ketemu Alicia. Kalaupun ketemu hanya sepintas lalu, basa-basi sebentar lalu menghilang pergi entah kemana. Ironisnya setelah Mas Rio gak ada Among justru terlihat mencoba dekat dengan Alicia. At least, dia lebih care dari sebelumnya. Alicia yakin pasti Sita yang jadi provokator! Karena Ananta tau Among adalah kakak yang paling Sita sayangi.

Mendadak Alicia inget Diks, ketika akan menggigit coklatnya yang tinggal sepotong, inget coklat cadbury yang pernah Alicia beli buat Diks. Pasti coklatnya sudah lumer. Sebenarnya coklat itu sudah dua hari tersimpan di tasnya. Hari itu Diks menanyakan buku-bukunya yang Alicia pinjam. Tiba-tiba Alicia ingin memberikan coklat itu pada Diks. Hhh.. mungkin Diks membuangnya karena mana enak makan coklat yang sudah lumer, kecuali jika Diks menyimpannya di lemari es terlebih dahulu, baru bisa kembali beku dan enak disantap.

Ah.. Diks. Kita adalah sepasang keterasingan yang terus berusaha untuk menemukan hal-hal yang mudah kita kenali. Tidak pernah memahami pikiranku padahal kamu bersembunyi di dalamnya.
“Mungkinkah suatu hari nanti Aku bisa mengenal satu persatu anggota keluarga Diks, seperti aku mengenal adik-adik Mas Rio?” gumam Alicia sambil perlaham mengunyah coklatnya. Apakah Diks juga punya adik semanis Sita? Apakah Alicia boleh menyayanginya seperti sayangnya pada Sita? Entahlah….

Diks mempunyai dua orang adik perempuan. Apakah mereka bisa berteman dengan Alicia? Apakah mereka mau menerima kehadiran Alicia di antara mereka? Ataukah akan bersikap dingin seperti Among dulu ketika mendengar rencana pernikahannnya dengan Mas Rio? Alicia hanya akan selalu berusaha melakukan yang terbaik dan menjadi yang terbaik buat orang lain. Sudah menjadi obsesinya untuk memiliki jiwa yang indah….

Aku ingin punya jiwa yang indah
Tapi rasanya masih seratusan musim hujan lagi
Karena itu aku menyadari bahwa aku harus terus
Menempa tapal kesungguhanku dan memakukannya dalam kesadaran
Bahwa layar yang kubentangkan haruslah termusim juga dalam jeda yang sama,
Pagi yang bersahaja, pandangan hidup yang sederhana dan sikap yang tegak lurus
Aku ingin punya jiwa yang indah
Juga madu termanis dari lebah yang paling jantan

(Indicent Obsession by Mario Lapanengke)


--oo0oo--
Medio 16 Mei 2003
written by: Anita Lindawaty

No comments:

Post a Comment