December 23, 2008

Mata Kelam Diks (Cerpen Pertama dari Trilogy Cerpen)

Kita masih setia
Jika memperdebatkan soal kasih

Atau isyarat cinta yang tersembunyi
Meski senantiasa kita tahu
Bahwa luka-luka akan tumbuh
Dan menganga di sepanjang jalan waktu
Yang kita lalui

Kita masih setia
Memandang matahari, musim-musim
Yang silih berganti
Memandang rembulan dan menantangnya
Agar ia memberi kita
Mimpi yang serupa
Sekali saja

“Apa yang kucari?” bisik hati Alicia galau, seraya membereskan meja kerjanya dan bersiap pulang. Sejenak jarinya sibuk mengetikkan pesan yang muncul dilayar monitor komputernya.
“Aku off dulu yah, mo balik nih..” tanpa menunggu balasan pesannya Alicia langsung log off dari Yahoo Messengernya lalu men-shutdown komputernya. Selang beberapa waktu Alicia sudah membaur dalam keramaian lalu lintas kota pahlawan menuju tempat tinggalnya. Udara sore ini sedikit adem kendati masih menyisakan debu dan terik mentari siang.

Mandi, memang sedikit menghapus penat dan kegerahan di tubuh Alicia, namun tak sanggup jua menghalau kegalauan di hatinya. Sekelebat mata kelam Diks dan senyum cerahnya ketika dia tertawa riang, lagi-lagi mengganggu benaknya…
“Ah… Diks, apa kabarmu sekarang?” keresahan begitu pekat mewarnai hatinya.
Sekonyong-konyong Alicia bergerak cepat meraih ponselnya dan menuliskan 10 digit angka yang dihafalnya dengan baik, bahkan sekiranya Alicia mengalami amnesia sekalipun, dia tetap akan ingat 10 angka nomor telepon genggam makhluk manis bernama Diks, yang mata kelamnya menghantui hari-hari Alicia, entah sejak kapan…. Tapi Alicia menekan tombol merah pada ponselnya dengan segera pada dering ketiga, seakan tersadar dari hipnotis.
“Apa yang kulakukan? Bagaimana kalo Diks sudah menikah? Betapa bodohnya aku!!” kutuk hati Alicia gemas.

Masih segar dalam ingatan Alicia, pertengkaran terakhir dengan Diks, pemilik mata kelam itu, via Yahoo Messenger dan email. Waktu itu Alicia harus ke perusahaan boneka dan minta ditemani Diks.
“Mau ya Diks, Please…yah…yah…yah” bujuk Alicia di Yahoo Messengernya dan bersiap menerima jawaban penolakan Diks, mengingat sudah hampir 30 menit Alicia adu argumen.
“Gak bisa” jawab Diks singkat.
“Kalo besok gimana?” tanya Alicia keukeuh.
“Kenapa sih mo pake gue?” balas Diks galak.
Glek! Alicia kaget sekaligus bingung, apa yang dipikirkan Diks?
“Tentu saja karena aku suka berada didekat Diks dan menyaksikan mata kelamnya berbinar ketika Diks tertawa” bisik hati Alicia ketika itu.
Tapi mana mungkin Alicia mengatakan alasan konyol itu, bisa-bisa Diks mentertawakannya. Namun menyembunyikan alasannya pun bukan pilihan yang baik, karena toh Diks salah paham juga.

Keesokan harinya ketika Alicia kembali mencoba membicarakan pertengkaran di Yahoo Messenger kemarin, Alicia mendapat jawabannya via email. Seperti biasa, dengan gaya khas Diks dalam menulis: singkat, tanpa basa-basi, dan sadis (menurut Alicia saat itu). Dalam emailnya Diks hanya menulis sebaris kalimat:
“Gak bisa Lice, hari ini ada janji sama ibu Diks”
Tanpa sadar setetes cairan bening bergulir di pipi Alicia. Setelah menghapus email itu, Alicia memutuskan pergi sendiri ke perusahaan boneka itu. Sekaligus berjanji dengan sungguh-sungguh untuk pergi sejauh-jauhnya dari Diks!

Sekarang, mengapa mata kelam Diks mengganggunya? Setelah sekian lama berlalu, mengapa Tuhan? Apa yang akan terjadi, sekiranya dulu Alicia bertanya lebih detail apakah benar Diks sudah menikah? Ataukah ‘ibu Diks’ hanyalah kiasan untuk ‘pacar’ atau ‘seseorang yang sedang coba Diks dekati’ atau justru berarti ‘Diks’s Mom’? Entahlah, saat itu yang ada di kepala Alicia hanyalah “segera pergi sejauh-jauhnya dari Diks!” dan memang itulah yang Alicia lakukan.

“Oops… sudah berapa lama aku bengong di sini?” desah Alicia kesal, lalu bergegas menyisir rambutnya. Mengapa mata kelam Diks mengusiknya, Alicia sendiri tak habis mengerti. Kerinduan yang mendadak menyergapnya terasa begitu menyiksa. Kerinduankah ini namanya?

Alicia mengunci pintu rumahnya dengan cekatan seraya melirik jam tangannya. Masih ada waktu 1,5 jam sebelum Alicia ketinggalan KA Argo Bromo yang akan membawanya ke Jakarta dari stasiun Gubeng. Besok jam 9 pagi ada wawancara di PT. EISAI. Kalau Alicia berhasil lolos seleksi, akan ditempatkan di Cianjur.

###

“Apa yang kucari?” lagi-lagi pertanyaan itu berputar di benak Alicia. Meskipun kereta api telah bergerak satu jam dari stasiun Gubeng dan kenyamanan tempat duduknya tidak juga dapat membuat Alicia terlelap. Lagi-lagi pikirannya mengembara, berkelebat dalam ingatan beragam episode kehidupannya selama beberapa tahun terakhir.

Mumuh, sobatnya, mendengarkan dengan serius dan ekspresi sungguh-sungguh ketika delapan bulan yang lalu Alicia menuturkan luka-luka yang tumbuh dan menganga di sepanjang waktu yang dilaluinya. Ketika itu Alicia dan Mumuh duduk di lantai 1 Perpustakaan Pusat Kampus. Alicia menceritakan segalanya tanpa ragu, seakan sedang melepaskan satu persatu beban yang memberati hati dan jiwanya. Tentang rencana pernikahan dengan Mas Rio yang kandas, dan menghabiskan setiap akhir minggunya di makam Mas Rio. Sejak itu Alicia sudah kehilangan tujuan hidupnya. Arah langkahnya tak menentu. Jakarta menjadi tempat yang asing dan mengerikan, ketika kenangan Mas Rio seakan mengikuti kemana pun Alicia pergi. Menyusuri jalan-jalan di Jakarta dan mendatangi tempat-tempat yang mengingatkannya dengan Mas Rio makin terasa menyiksa Alicia.

Saran dan nasehat Mumu supaya Alicia tawakal dan menyerahkan segala sesuatu padaNya, sedikit banyak mampu menenangkan emosi Alicia saat itu. Namun pada akhirnya Alicia memutuskan untuk resign dari tempat kerjanya, menjauh dari Jakarta, dan pulang ke rumah untuk menenangkan pikirannya. Suatu keputusan yang agak disesalkan Mumuh ketika dia mengetahuinya. Menurut Mumuh, seharusnya Alicia berjuang menghadapi semua ini tanpa harus meninggalkan Jakarta dan pekerjaannya.

Kini hampir satu semester Alicia melakoni kehidupan baru dan pekerjaan baru di Kota Pahlawan. Namun kehampaan ini tak jua sirna, absurb yang begitu dalam. Apa yang aku cari? Dimana seharusnya aku berada? Pertanyaan yang tak jua Alicia temukan jawabannya.

Dan sekarang mata kelam Diks,mengusiknya!
Entah darimana datangnya, Alicia menemukan kembali lukisan mata kelam Diks di antara tumpukan memori dalam benaknya. Mata kelam yang akan segera berbinar ceria ketika pemiliknya tertawa riang. Entah kapan pertama kalinya Alicia melihat mata kelam itu, dua tahun? Mungkin hampir tiga tahun yang lalu. Ketika Alicia keranjingan telnet di kampusnya. Diks, salah seorang admin di salah satu jurusan di kampus. Alicia sudah banyak mendengar tentang Diks, namun Alicia ogah men’judge’ seperti apa sosok Diks yang sesungguhnya.

Ketika pertama kali Alicia ketemu Diks, Alicia langsung menyukai mata kelamnya yang berbinar ceria ketika dia tertawa.
“Apa perlunya belajar bikin tabel routing segala?” tanya Diks sambil membuka-buka bab dalam buku Fred Halsall yang dibawa Alicia.
“Buat siap-siap aja, besok mungkin ada quiz mendadak tentang routing dan addressing
“Lho, kamu kan jurusan kimia, kok belajar TCP/IP?” tanya Diks heran.
Alicia dapat memaklumi keheranan sebagian besar teman-teman dan dosennya akan ketertarikkannya pada jaringan internet. Bahkan dosen yang mengasuh mata kuliah jaringan di Departemen Teknik Elektro juga beranggapan Alicia salah memilih jurusan KI, seharusnya IT untuk program S2 nya. Jadi Alicia sudah sangat terbiasa dengan ekspresi heran seperti yang diperlihatkan Diks.

Diks sungguh baik, mau meminjamkan buku-bukunya. Selain itu juga dengan sabar menerangkan tentang routing dan cara membuat tabel routing, sehingga Alicia merasa Diks layak mendapat coklat cadbury sebagai tanda terima kasih Alicia ketika Alicia mengembalikan buku-buku Diks yang dipinjamnya.
“Diks, kayaknya ada yang ketinggalan deh di tasku, coba liat lagi buku-bukunya dah cukup apa belom” begitu pesan yang dikirim Alicia melalui telnet pada Diks, sekembalinya dari lab. Diks.
“Cukup kok, emang apaan yang ketinggalan?” balas Diks.
“Coklat cadbury, buat Diks. Tapi tadi aku lupa dan masih ketinggalan di tas,mau??”
“Mau dong, nyam…nyam…nyam…emmm…sedappp” jawab Diks kocak.
“Tapi kali coklatnya udah mulai lumer karena di sini panas, simpen di lemari es dulu biar enak. Aku ke sana sekarang, I’ll be there in 5 minute!”Alicia mengetikkan ‘lock –np coklatnya ketinggalan’ maka loginnya dapat ditinggalkan dengan aman, lalu berlari-lari kecil kembali ke lab. Diks.

Alicia juga dengan senang hati meminjamkan buku Fred Halsall nya ketika Diks juga melanjutkan program S2 dan memilih bidang IT di Departemen Teknik Elektro. Es krim coklat! Itulah yang Diks berikan, ketika mengembalikan Fred Halsall nya.

Diks kirim email pendek:
“Fred Halsall nya udah selesai dan bisa diambil, ada fee nya gak nih”Alicia membalas emailnya:
“Gak ada, buat Diks mah free :)"
Selang beberapa waktu Alicia mendapati email Diks di inbox nya:
“Gimana kalo es krim aja, mau?”
Dengan riang Alicia mereply email Diks:
“mauuuu….. hehehe, ma’acih Diks baik deh :)"
Dan pada waktu yang dijanjikan Diks mengembalikan bukunya sekaligus beliin Alicia es krim coklat...

Ah… Diks! Alicia tiba-tiba ingin melihat lagi mata kelam Diks, mungkinkah? Bagaimana caranya? Ketika Alicia menemukan iklan lowongan PCR (Plant Chemistry Researcher) di PT. EISAI yang akan ditempatkan di Cianjur, Alicia tau apa yang harus dilakukannya. Cianjur – Bandung lebih dekat daripada Surabaya – Bandung. Apakah dengan begini Alicia dapat melihat kembali mata kelam Diks?

Di hamparan gurun kehampaan, mata kelam Diks muncul bagai kerlip lilin dalam gulita hatinya. Mendadak keinginan untuk melihat kembali mata kelam Diks, semakin kuat dari waktu ke waktu. Dan kini seakan arah langkah Alicia menjadi jelas.

Alicia membuka matanya, tetangga yang duduk disekitarnya terlelap tidur. Alicia menghela napas berat ”Apa yang sedang aku lakukan?” bisik hati Alicia. Menempuh perjalanan malam ratusan kilometer dan berharap dapat pindah kerja ke Cianjur. Untuk apa? Untuk melihat mata kelam Diks? Entahlah….

At least, saat ini ada tujuan hidup yang membuat hidup Alicia lebih bergairah. Pertama kalinya sejak kepergian Mas Rio, Alicia merasakan lagi semangat hidupnya bergelora. Betulkah hanya karena mata kelam Diks? Ataukah ada harapan lain di hati Alicia? Harapan merupakan sesuatu yang mungkin saja sulit diraih, namun dapat membuatnya sanggup bertahan. Ada sepuluh probabilitas yang menyakitkan yang bakal ditemuinya. Tapi bisa jadi ada seratus probabilitas yang membahagiakan yang juga bisa terjadi. Karena itu Alicia tidak ingin mengungkapkan harapan hatinya. Lagi pula belum tentu jadi pindah domisili ke Cianjur dan belum tentu dapat melihat lagi mata kelam Diks.

Satu hal yang harus Alicia lakukan besok pagi adalah: ikut wawancara di Jakarta lalu segera kembali ke Surabaya sore harinya supaya lusa gak perlu bolos lagi. Satu hal yang Alicia pahami dengan baik adalah: mata kelam Diks telah memberi warna indah dalam satu episode kehidupan Alicia. Perkara, apakah Alicia punya kesempatan untuk melihat kembali mata kelam Diks ataukah tidak, itu semua di luar kuasanya, hanya Allah SWT yang tau. Perkara, apa yang akan terjadi setelah Alicia melihat kembali mata kelam Diks, Alicia juga gak mau berspekulasi yang nggak-nggak. Que sera-sera what ever will be will be, terjadilah apa yang akan terjadi. Namun Alicia sungguh berterima kasih pada Diks dan mata kelamnya.

Kini pikiran Alicia sedikit lebih tenang dan segera terlelap seperti penumpang Argo Bromo lainnya, dan terjaga ketika kereta sudah hampir tiba di Gambir. Cahaya mentari menembus sela-sela kaca jendela yang tebal dan pekat, bagaikan mata kelam Diks yang binar cerianya mampu menembus gulita hatinya. Alicia bersiap turun dan menghadapi wawancara hari ini dengan penuh semangat. "Semoga dapat melihat lagi mata kelam Diks" do'a nya dalam hati.

###

Lamunan Alicia buyar seketika oleh dering telepon genggamnya. Sementara taksi blue bird yang ditumpanginya sejak dari stasiun gambir masih meluncur menembus macetnya Jakarta di pagi hari.
“Lewat Manggarai aja Pak, biar gak kejebak macet” ujar Alicia pada sopir taksi seraya melirik nomor telepon yang masuk, dari rumah Mas Rio. Pasti si bungsu Sita! Alicia segera menekan tombol hijau pada ponselnya.
“Hallo Sita ya? Pa Kabar Sayang” sapanya ramah. Namun Alicia terkesima mendengar suara bariton di seberang sana.
“Hallo juga Alice, kabar baik Sayang. Ini aku Among” jawabnya diiringi tawanya yang ringan.
“Oh… Hai, Mong. Sorry, aku pikir Sita. Tumben, lagi di rumah?” Alicia benar-benar malu.
“Gak pa-pa Lice, kapan lagi kamu mau bilang Sayang ke aku, kalo gak pas salah kira. Sering-sering aja yah…hehehe. Aku sekarang dah tinggal di rumah lagi, kasian mama…”
“Mama kenapa Mong? Sakit kah?” terdengar nada khawatir dalam suara Alicia.
“Mama sehat kok, tenang aja. Cuma jadi rajin telpon aku semenjak Mas Rio gak ada dan kamu gak pernah lagi sowan ke rumah” Among tau betul bagaimana membuat Alicia merasa bersalah dan kehilangan kata-kata.
“Alice, kamu masih di sana? Hallo….”
“Oh…iya, emmm… Mong, sampaikan maafku sama mama. Aku bukannya gak mau mampir, tapi..”
“Sudahlah Alice, gak pa-pa. Aku cuma becanda kok! Sekarang lagi sibuk ngapain? Mo ngantor yah?”
“Nggak. Aku hari ini bolos. Lagi di Jakarta tapi nanti sore langsung balik lagi. Ada wawancara di PT. EISAI. Sungguh, aku gak mungkin sempet mampir Mong… Maaf...”
“Baiklah, abis dari Gambir kamu kemana?”
“Mampang, rumah Lidia. Sekalian mo liat bayinya yang baru lahir. Dah dulu yah Mong, dah nyampe nih, sampai nanti, bye…”
“Bye Alice, good luck yah!”Alicia menutup telponnya, lalu mematikan ponselnya. Sudah lama sekali gak ketemu Lidia.

###

Sore di lantai 2 Stasiun Gambir, Hoka-Hoka Bento!
Alicia dan Among duduk berhadapan, Among makin mirip Mas Rio, bisik hati Alicia gamang.
“Jam dua aku telpon, ponselmu gak aktif” ujar Among.
“Untung aku masih punya nomor telpon Lidia makanya aku bisa menemukanmu di sini” lanjutnya.
“Aku sengaja matikan ponsel selama interview dan baru kelar jam tiga”
“Linda bilang kamu bakal pindah ke Cianjur. Kenapa Cianjur? Kenapa bukan Jakarta? Ada seseorangkah? Sudah ada yang menggantikan posisi Mas Rio di hatimu?”
Tatapan tajam Among tepat di jantungnya. Satu kemiripan Among dengan Mas Rio, ketajaman instingnya. Hanya saja Mas Rio gak akan se-blak-blak-an ini. Mas Rio cenderung diplomatis kalo ngomong.
“Entahlah Mong. Cuma mo cari suasana baru” kilah Alicia seraya berusaha keras menghalau bayangan mata kelam Diks.
“Alice, kamu yakin belom ada pengganti Mas Rio?” tanya Among perlahan, was-was.
“Among, sudahlah….Please! Kalo ‘ntar aku dah nemu orang yang tepat, maka kamu orang pertama yang aku kasi tau, aku janji”
“Baiklah, Alice. Ini kegemaranmu, buat di jalan” ujar Among sambil memberikan coklat cadbury.
###

Sekali lagi Alicia harus melalui perjalanan malam di atas Argo Bromo yang akan membawanya kembali menapaki kehidupannya dengan hati yang lebih tegar. Emmm… Among tadi bilang sesuatu waktu ngasi coklat ini: coklat dan es krim bisa bermakna seperti bunga. Sedangkan bunga bisa berarti cinta. Jadi Among?? Isyarat cinta tersembunyi kah? Ahh…mana mungkin, Among sudah seperti saudara kandung bagiku.
“Oh…my God!!” tiba-tiba seperti tersengat lebah, Alicia ingat sesuatu. Coklat dan es krim? Benarkah berarti cinta?? Bagaimana mungkin?
“Ah… Diks, mungkinkah?” bisik hati Alicia. Sekali lagi mata kelam Diks dan binar cerianya terbayang jelas di pelupuk mata Alicia. Terasa begitu dekat…
“Meski sangat dekat, kini makin jelas jarak kita. Engkau di ruang tunggu, Aku di lorong waktu. Kapan dan dimana kita mungkin bertemu” desah bibir Alicia, sesaat sebelum terlelap!

--oo0oo--

written by: Anita Lindawaty
Medio, 1 Mei 2003
(Buat: Diks, Andai lorong waktu itu berujung di ruang tunggu, akan aku berikan coklat cadbury untukmu, Traktir aku es krim terlezat yah!)


Catatan Profil Tokoh Cerita:
Diks: nama panjangnya adalah DIKS, memiliki mata kelam yang sungguh mengusik ketenangan Alicia.
Among: nama lengkapnya Amesangeng Pattaropura Lapanengke, adik kandung Mas Rio yang gagal jadi adik ipar Alicia.
Mas Rio: nama sebenarnya Mario Lapanengke, tutup usia 6 Agustus 2002, meninggalkan satu calon istri yaitu Alicia, dan empat mantan pacar yang juga turut berduka mengiringi kepergiannya.
Alicia: Apakah ini nama sebenarnya? Masih perlu konfirmasi lebih lanjut. Tapi yang pasti dia telah benar-benar memancangkan pilihan dan mengikatkannya dalam rangkaian hari esok. Di sini bermil-mil jauhnya dari engkau di sana Tiang-tiang horizon telah mengukuhkan pilihannya pada malam yang membumbung dan senja yang terpikat matahari sore.
Mumuh: salah satu sobat baik Alicia yang melangsungkan pernikahannya 3 April 2003, mungkin masih dalam suasana bulan madu, sehingga ponselnya belom dapat dihubungi untuk konfirmasi mengenai keterlibatan namanya dalam cerpen ini.
Sita: nama sesungguhnya Massita Dwi Mandini Manessa, si tomboy adik bungsu Mas Rio yang piawai memasak dan bikin kue. Obsesinya adalah menjadikan Alicia sebagai kakak iparnya, kalo gak mungkin sama Mas Rio, sama Among aja, harus!! itu mottonya.

Nantikan Dua Cerpen squelnya: Cinta Dalam Sepotong coklat dan Es Krim Kerinduan.
Jangan Sampe Ketinggalan!!

1 comment: