December 16, 2008

Senja di Parahyangan

"Ayi ikut ya Ma... Ayi mau ke lumah Bunda lagi... Ayi mau naik onta cama Bunda... ya..Bunda ya..."rengek Ayi, keponakanku yang berumur 4 tahun, minta dukunganku agar diizinkan ke Bandung lagi.

"Ayi kan mesti sekolah! Masa bolos mulu.." ujar kakakku gemes. Pertanda sebentar lagi Ayi bakal dicubit! Aku harus segera menyelamatkannya....

"Ayi Sayang... sini dengerin Bunda ya.." bujukku seraya memeluk dan mencium pipinya.
"Ayi sekolah dulu, Bunda juga sekolah di Bandung. Ayi udah liat sekolah Bunda kan..." lanjutku. "Cekolah Bunda ada gajahnya... Ayi mau naik gajah lagi... Mau maen tembak-tembakan cama om Imlon.."
"Iya... tapi bulan depan aja ya Sayang. Tunggu Ayi libur.. OK, anak manis? Toss dulu dong.."

Untunglah Ayi selalu mau menuruti ucapanku. Memang sejak bayi, aku ikut mengurusnya sehingga tidak heran jika Ayi lebih dekat dan lebih mau mendengarkan aku ketimbang kakakku yang notabene adalah mamanya.

***

Stasiun Depok Baru lumayan ramai. Kulirik jam tangan mungil di pergelangan tanganku: 15.10 WIB. Moga-moga ke-uber kereta parahyangan 16.30 WIB dari Gambir. Biar nggak kemaleman sampe Bandung. Memang KRL merupakan pilihan transportasi yang lebih cepat, karena terhindar dari macetnya Jakarta. Aku duduk di tempat duduk panjang yang unik, dibuat dari dari rel kereta api. Moga-moga tidak perlu menunggu lama, do'aku dalam hati.

"Permisi mbak, bisa geser dikit!" sapa sebuah suara bariton yang membuatku reflek menggeser dudukku dan Sang pemilik suara duduk disampingku. Ransel yang besar dan padat di punggungnya menyentuh pundakku dengan tidak ramah, meninggalkan sedikit nyeri.

"Maaf.." gumamnya seraya berdiri lagi dan menurunkan ranselnya. Tentu saja untuk ke dua kalinya 'ransel sialan' itu mencolek pundakku. "Huh!" batinku kesal dan melebarkan bola mataku ke arah si pemilik ransel. Sekali lagi dia menggumamkan 'maaf' ditambah secerca senyum penyesalan.

Kalau saja aku tidak sedang kesal, mungkin aku segera menyadari betapa manis senyumnya. Tapi siapa yang perduli! Untunglah KRL segera datang dan aku buru-buru beranjak naik. Uuhhh..lumayan padat penumpangnya.. Seorang pemuda berdiri memberikan tempat duduknya padaku. "Makasih..." gumamku, mungkin dia mau turun di Pondok Cina atau UI, dua stasiun setelah Depok Baru.

Sampai stasiun Manggarai, gerbong kereta mulai agak legaan. Si pemilik ransel tadi juga sudah mendapatkan tempat duduk tidak jauh dariku. Saat aku melirik sekilas, dia juga sedang memandangiku rupanya. Baru kali ini aku sempat mengamatinya: lumayan manis; rambutnya agak gondrong, hitam dan lebat; sepatu kets, celana jeans dan kaos oblong yang penuh tulisan begini nih:

PUSING, itu bagus...tandanya Anda masih punya kepala
GEGAR OTAK, itu lebih baik lagi...tandanya Anda masih punya otak
KANKER, ini baru parah...tandanya Anda nggak punya duit...
SAMA DONG....!

***
Stasiun Gambir!

Aku menghambur turun ke lantai I, beli tiket dan naik lagi ke lantai III langsung ke kereta parahyangan di jalur 1. Untung beli tiketnya nggak pake acara antri. Setelah menemukan tempat dudukku barulah aku lega... Sepuluh menit lagi kereta berangkat, dan pukul 19.30 WIB aku sudah di Bandung lagi.....

"Maaf mbak, ini executive 2?" tanya sebuah suara membuyarkan lamunanku dan membuatku menoleh reflek karena suara itu masih menyisakan kekesalan dalam diriku. Glek! Ternyata benar dia... Apes banget sih aku hari ini...
"Iya.." jawabku pendek. Bahu kiriku mendadak nyeri lagi!
"Saya nomer 5A, deket jendela...tapi kalo mbak mau di sana, gak pa-pa kok" ujarnya sambil tersenyum sok ramah.
"Oh..Gak usah, makasih" aku segera berdiri dan memberi jalan agar dia bisa duduk di kursi yang tadi sempat kutempati dan kemudian duduk di kursi sebelahnya.
***
Satu jam sudah kereta melaju, sampai Cikampek kini. Senja mulai menjelang. Langit merah di ufuk cakrawala. Indah sekali... Sosok di sampingku membisu, asyik dengan lamunannya sejak dari Gambir tadi. Memandang kosong ke luar jendela dengan wajah tanpa ekspresi. Profil wajahnya menimbulkan siluet tertimpa merahnya cahaya mentari senja...manis sekali... Sungguh artistik. Bentuk hidungnya yang agak-agak berkesan aristokrat melukiskan keangkuhan. Senada dengan sikapnya yang acuhkan detak roda kereta yang mengoncang dan bergemuruh.
Aku mengeluarkan TTS yang tadi sempat kubeli dan segera tenggelam dalam keasyikan mengisi kotak-kotak kosong itu. "Nomer 11 menurun tuh isinya 'bianglala'..." sentaknya mengusik keasyikanku. Spontan aku aku melihat pertanyaan nomer 11 menurun; Yang muncul setelah hujan...eh...bener juga jawabannya. Aku menuliskan 'bianglala' lalu menutup buku TTS.
"Lho kok udahan.." katanya. Aku menolehkan kepalaku ke arahnya dan menemukan dia sedang tersenyum yang menghapus semua kesan tak acuh dari wajahnya.
"Udah gak asik lagi... digangguin sih..." jawabku singkat.
"Ops...sorry...sorry...." ujarnya
"Sorry juga tadi ya, yang di Depok! Masih marah ya? Eh, belum kenalan, gue...Thomas!" lanjutnya.
"Linda" jawabku pendek seraya menjabat tangannya yang terulur.
"Mau ke Bandung juga ya?" tanyanya.
"Emang nih kereta lewat Yogya gitu?" jawabku balik bertanya
"Nggak...! Cuma sampe Bandung" sahutnya dengan ekspresi heran, mungkin dia pikir aku salah naik kereta...
"Yah, kalo gitu gue juga cuma sampe Bandung aja.." komentarku ringan yang membuatnya tersenyum geli, sekaligus menghapus dugaannya yang keliru.
"Di Bandung, kuliah?"
"Yup!" jawabku singkat.
"Sama dong...gue di T. Mesin Unpas, sedang TA dan sedang suntuk berat, makanya kabur ke Jakarta" ceritanya tanpa kuminta.
"Jalan-jalan kok ke Jakarta, yaaa...tambah mumet lagi... Bukannya Jakarta biangnya macet yang stress kebanyakan orang" komentarku
"Yah, mungkin lebih tepatnya 'run away'..." ujarnya.
"Lho, kok? run away from what?" tanyaku ingin tahu.
"Gue dijodohin" jawabnya.
Ops! Aku nyaris tertawa geli. Mana ada sih cowok yang kena kasus 'kawin paksa'. Tapi melihat ekspresinya yang serius membuatku berusaha keras menahan geli.
"Kok, bisa...?" tanyaku serius.

Maka mengalirlah cerita tentang adat istiadat keluarganya di Pontianak (Kalimantan Barat) sana. Tentang kekhawatiran orang tuanya kalau-kalau Thomas terpikat 'mojang priangan'. Apalagi mengingat sekarang dia hampir menyelesaikan studinya. Barulah aku mengerti, mungkin kegalauan inilah yang berkecamuk mengisi lamunannya sejak dari Gambir tadi.
"Ngomong-ngomong Linda kuliah dimana?" tanyanya.
"Di ITB, Kimia" jawabku pendek.
"Angkatan taon berapa sih.."
"Uhh.. gue mah udah tua lagiii..." ujarku mengelak.
"96? '95? atau malah '94?" tebaknya gencar.
"Bukan...semuanya salah...gue angkatan '99" jawabku akhirnya mengaku juga.
Tapi Thomas malah tergelak dengan gelinya.. Uhh! gak percaya ya sudah!
"Iya juga sih... lebih senior dari yang angkatan 2000 ya.." komentar Thomas setelah tawanya reda.
"Eh, percaya gak, di tempat kos gue rada angker loh... masa waktu malem jum'at kapan ya? Ada yang ngetok kamar temen gue gak pake kepala... serem gak sih..."
"Masa sih? Emang Linda kos nya dimana?" tanyanya.
"Dago"
"Daerah dago sebelah mana sih yang angker kaek gitu? terus temen Linda itu gimana? Beneran gak nih?" tanyanya sangsi.
"Iya... beneran...! Lagian mana ada sih orang yang ketok-ketok pintu pake kepala sih..ya.. pake tangan dong, biar gak benjol" jelasku
"Hahaha... Linda iseng juga ya...kirain serius! Temen gue juga pernah mau nonton di BIP, masa gak boleh masuk pake sendal"
"Alaaaaa....bo'ong! Gue aja pernah nonton di BIP pake sendal!" protesku
"Iya..beneran kok. Soalnya, kalo orang lain masuknya pake tiket dan dapetin tiketnya pake duit, temen gue tuh pake sendal... yah gak boleh masuk jadinya...!"
Hihihi...kebayang kan temen si Thomas ngasi sendalnya pas mo masuk teather di BIP.
"Yeeee... bales dendem ya..." ujarku keki.
"Di kampung gue pernah ada kejadian aneh. Masa ada yang meninggal, tapi tangannya gak bisa dilipat di dada. Jadi tangannya tetep mengepal ke atas kaek iklan ekstra joss. Udah dipanggilin orang pinter, kyai, ampe dukun, tetep gak mempan" ceritaku dengan serunya.
"Kenapa gak dipaksain aja, terus diiket!" komentarnya lugu.
"Tetep gak bisa lagi... Namanya orang meninggal kan badannya udah kaku"
"Terus gimana nguburnya, masa kuburannya dibuat lebih panjang sih..." protesnya.
"Akhirnya bisa diatasin sih... sama anak kecil, tetangganya yang suka maen di deket rumah si mayat" jawabku akhirnya.
"Oh ya...emang gimana caranya? Hebat juga tuh anak.."
"Anak itu cuma nyanyi: cang kacang panjang, yang panjang jadiii..., eh..mayatnya langsung ngelipet tangannya...!" jelasku
Begitulah... beragam cerita mengalir. Canda tawa bergulir. Hingga tanpa terasa, senja berganti malam. Kereta mulai memasuki bumi parahyangan.
"Kaeknya udah nyampe ya Lin"
"Iya nih.. Gue jamin elo pasti gak bisa jawab teka-teki gue yang gambar itu ya. So'alnya temen-temen gue juga pada gak bisa jawab. Padahal udah pake acara berhadiah kaset slank segala lho..." ucapku sambil siap-siap turun dari kereta.
"Yaaaa... kalo anak ITB aja gak bisa, wajar dong kalo gue juga gak bisa...hehehe..." balasnya nggak mau kalah.
"Tapi walau bagaimanapun makasih banyak ya, Lin... udah bikin gue ketawa dan ngerasa fresh lagi. Gak rugi deh gue minta tempat duduk di samping elo, tadi pas beli tiket di Gambir!" akunya dengan tulus.
"Oh...jadi elo sengaja ya... Gue pikir kebetulan aja. Tau nggak, gue tadi ngerasa apes banget hari ini, waktu tau ternyata harus duduk sampingan sama elo..." jawabku dengan jujur juga dong... "Eh, sekali lagi sorry ya... pasti gara-gara kejadian di stasiun Depok Baru tadi, makanya elo ngerasa gitu..." ucapnya penuh sesal.
"Iya..deh... eh, gue lewat sini ya... daaaa Thomas..."
"Daaaaah... sampai ketemu lagi ya Lin..."
Aku menelusuri jalan depan stasiun Bandung, menuju angkot yang akan membawaku ke tempat kos. Jadi inget bait terakhir puisi yang sempat kubuat di atas kereta tadi
....Satu warna baru telah terlukis
Dalam kanvas kalbu
Jika sanggup memantulkan binar ceria
Dari wajahnya
Pada wajah buram dunia.
--o0o--
Kereta Parahyangan Jakarta-Bandung 16.30 WIB, 19 sept 2000
Written by Anita Lindawaty

No comments:

Post a Comment