December 16, 2008

Pernikahan

Ada dua teori tentang apakah sesungguhnya jodoh itu? Teori pertama mengatakan bahwa jodoh itu adalah orang yang akhirnya menikah dengan kita, apapun jalannya sehingga pernikahan itu terlaksana. Sayangnya teori ini tidak dapat menjawab satu fenomena: jika orang yang menikah itu berarti sudah ketemu jodohnya, mengapa ada pasangan yang bercerai setelah menikah? Apakah jodohnya putus atau berakhir?

Teori kedua menerangkan bahwa jodoh adalah orang yang merupakan belahan jiwa kita yang segala sesuatunya cocok dan baik buat kita, dan terasa ada ikatan batin dan jiwa dengannya.

Cerita berikut, mendukung teori yang manakah? Ataukah perlu ada teori ketiga yang merupakan gabungan kedua teori sebelumnya? :)

***

"Pernikahan kayak gini sudah gak jaman, Pa" protes Kalfi kesal
"Mana ada laki-laki yang dinikahkan paksa, Kalfi cuma akan menikahi perempuan yang Kalfi cintai" tegasnya berang.
"Dengar" desis papanya tajam.
"Dia perempuan yang baik dan saat ini masih melanjutkan sekolahnya di Bandung. Papa kenal baik dengan orang-tuanya".
"Tapi itu bukan alasan buat ngejodohin kami, pa!"
"Bagaimana papa bisa yakin kalo di Bandung dia nggak punya kekasih!" Kalfi masih penasaran mencoba mendebat sekali lagi.
"Pendeknya, jangan bikin malu papa, Kalfi" ucap papa Kalfi tegas.
"Besok malam kita mengunjungi mereka. Mumpung Andin sedang ada di sini!"
"Tapi ini jaman modern papa. Masa Kalfi harus seperti anak perempuan yang diatur begini-begitu. Besok malam Kalfi sibuk..."
"Papa tau!" potong papanya pula.
"Kalfi sibuk di kantor dan entah apa lagi nama kesibukan yang Kalfi cari-cari di luar sana! Tapi Kalfi harus ingat, calon mertuamu bukan orang yang terlalu modern. Walaupun mereka menyekolahkan Andin sampai begitu tinggi ke Bandung".
"Apa bedanya dengan mereka, pa?"keluh Kalfi sebal sekaligus putus asa.
"Papa dan mama sudah dua kali berkunjung ke rumah mereka, dan anak yang namanya Andin itu, sekali pun papa belum pernah ketemu bukan? Nah, barangkali dia sama brengseknya dengan Kalfi!".

Tidak berhasil dengan papanya, Kalfi mencoba mendekati mamanya. Biasanya sih berhasil. Tapi tampaknya kali ini sia-sia. Papa terlalu dominan di rumah ini. Dan mama terlalu lemah. Namun, gak ada salahnya dicoba.

"Aku kenal Zawawi seperti aku kenal diriku sendiri. Dia orangnya baik, dermawan, dan disegani. Mustahil pohon yang baik menghasilkan buah yang jelek".
"Tapi Andin bukan Zawawi, pa" mama Kalfi memperingatkan sekali lagi.
"Dia sudah mengecap pendidikan dan pergaulan begitu jauh dari rumah. Apa papa yakin dia akan cocok dengan Kalfi". "Barangkali mama benar juga" kata papa Kalfi akhirnya.
"Baik, papa mengalah. Akan papa selidiki dulu gadis itu"

Lalu main selidik-selidikan yang gak lucu itu itupun dimulailah. Papanya meminta bantuan beberapa kerabat dan kenalannya untuk memata-matai Andin. Sebaliknya Kalfi sendiri nggak bisa ngusir perasaan seakan-akan sedang diawasi gerak-geriknya. Perasaan itu melahirkan kejemuan yang menyiksa dan baru dapat ditumpahkan tiga bulan kemudian, ketika papanya dan papa Andin sukses mengatur pertemuan mereka di sebuah rumah makan.

Gadis itu merupakan lukisan gadis masa kini. Tidak terlalu cantik. Tidak modis, tapi lumayan manis dan tampak smart. Bicaranya terus terang, lugas dan apa adanya, seakan mereka teman lama yang baru berjumpa.
"Kalo bokap lu mau nanya langsung ke gue, sebenernya gak perlu nyewa mata-mata buat ngawasin kelakuan gue" katanya datar.
"Gue akan terus terang cerita tentang gue apa-adanya. Gue bukan calon menantu yang baik yang diimpikan bokap lu. Selama dua tahun di Bandung, gue lebih kenal kafe daripada ruang kuliah"Andin menunggu reaksi Kalfi. Ketika dilihatnya gak ada perubahan air muka pemuda itu, ia melanjutkan
"Tapi yang paling penting ada seorang lelaki baik yang menanti gue di Bandung"
"Nah, ini baru cerita bagus buat ngebatalin pernikahan konyol itu. Asal lu cukup punya nyali buat persentasi-in lagi di depan bokap-bokap kite" cetus Kalfi bersemangat.
"Supaya kita punya cerita yang lebih bagus, mendingan lu juga bikin dongeng versi lu sendiri" matanya menatap Kalfi dengan pandangan mengejek.
"Gue tau elu juga bukan cowok alim. Nah, apa salahnya nambah-nambahin bumbu dalam dongeng lu? supaya bokap gue lebih percaya".
"Oh, gue gak se-brengsek yang lu kira!" sentak Kalfi kesal sekaligus heran, kenapa juga harus membela diri di depan gadis ini. Bagaimanapun, reaksi Andin sama sekali di luar dugaannya. Ternyata dia pun tidak menginginkan pernikahan ini.
"Oke. Oke" suara Andin berubah lembut.
"Gue percaya deh, lu cowok baik. Tapi gue gak cinta sama elu. Dan elu gak mau nikah sama cewek yang gak cinta sama elu, bukan?"
"Jelas dong. Gue gak bakal nikahi perempuan yang gak gue cintai dan gak cinta sama gue"

Sikap dan pandangan gadis ini begitu angkuh. Seakan dia menganggap dirinya gadis yang paling istimewa dan ngerendahin semua cowok yang dihadapinya. Tetapi diluar semua itu, Kalfi harus mengakui, gadis ini sangat menarik. Dia memiliki sesuatu yang memikat di dalam sana. Entah di dalam matanya yang selalu tersenyum mengejek itu. Atau di sudut bibir indahnya yang melantunkan 'kalimat-kalimat lugas', istilah halus dari 'asal nyeplos seenaknya'.

"Tapi gue gak sudi ngerusak nama gue sekali pun di depan bokap lu!" Kalfi menatapnya gemas. Gadis ini begitu percaya diri, menimbulkan kesan menggurui.
"Ah ya tentu dong" ucap Andin
"Tentu aja lu gak perlu ngerusak nama lu, cowok baikkk" lanjutnya sinis dengan bola mata berbinar indah.
"Ya sudahlah. Kita ketemu di sini dua hari lagi, bukan?" ujar Kalfi
"Sementara itu, moga-moga gue bisa nemuin cerita yang lebih baik dan elu bisa dapet jalan yang lebih mudah untuk ngebatalin pernikahan kita, Oke?"

Demikianlah dari satu pertemuan mereka jatuh ke pertemuan berikutnya. Tanpa terasa dua bulan sudah berlalu, dan dengan heran Kalfi menyadari perasaan enggan untuk mengakhiri pertemuan- pertemuan semacam ini. Sudah gilakah gue? pikir Kalfi bingung. Atau ini pertanda buruk gue mulai... jatuh cinta?

"Kok, elu nggak sebawel biasanya?" kata Kalfi tiba-tiba. Andin terkejut. Kalfi sedang mengawasinya. Ah... kenapa sih dia punya mata tajam selembut itu... batinnya sebel!
"Oh... gue gak pa-pa kok" sahut Andin menunduk, menatap tangan mereka yang saling menggengam di atas meja dan merasa segan untuk melepaskannya.
"elu... elu mulai bosan dengan pertemuan seperti ini?" senyum giris berkelebat di bibir Kalfi.
"Kata mata-mata bokap gue, elu gadis pembosan"
Hati Andin berdebar. Kalau pernyataan itu didengarnya dua bulan yang lalu, Andin pasti gak perduli. Tapi sekarang?? Ah... rasanya gak enak banget dengernya.
"Minggu depan gue mesti balik ke Bandung" ujar Andin
"Gue mesti beresin tesis gue" lanjutnya lemah tanpa emosi
"Papa juga setuju"

Kalfi menatapnya heran "bokap elu?" tanyanya seolah gak percaya dengan telinganya. Apa ini berarti papa Andin sudah setuju membatalkan pernikahan ini. Ataukah papa Andin mencoba realistis dan menerima pilihan Andin yang di Bandung itu. Kemudian mencoba mengulur waktu dengan alasan klise biar Andin menyelesaikan sekolahnya dulu.

"Kadang gue jemu menjadi wayang permainan bokap gue" Kalfi meremas jemari Andin.
"Tapi sampai sekarang pun gue gak mampu melepaskan diri..."
"Atau tepatnya lu gak punya nyali untuk itu!" sentak Andin. Direnggutnya tangannya dari genggaman pemuda itu.
"Jadi kita gak perlu ngarang dusta untuk membatalkan pernikahan kita, bukan?"
"Gue pikir juga gitu"
"Gak akan ada lagi pertemuan kayak gini?"

Kalfi menatap Andin. Mereka saling pandang. Dan Kalfi kesal pada dirinya sendiri ketika menyadari keinginan yang menggelegak untuk memiliki gadis ini. Ia telah jatuh cinta. Sialan! Bagaimana mungkin gue jatuh cinta sama gadis ini!
"Gue pikir..."
"Baiklah" potong Kalfi sambil berdiri
"lupakan dongeng-dongeng itu. Titip salam buat lelaki baik yang nungguin elu di Bandung" Andin tertegun bingung.

Setelah mengantarkan Andin pulang, kegalauan itu kian memuncak dalam benak Kalfi. Sudah terlambat, pikir Kalfi marah. Gue terlanjur mencintainya. Dan gue pantang menyerah. Sekalipun kepada seorang lelaki baik yang nungguin die di Bandung. Perduli setan! Gue gak bakal ngalah begitu saja!

***

"Ke Bandung?" Dari terkejut, heran akhirnya geram, papa Kalfi membelalaki Andin dan papanya.
"Mana boleh begitu. Andin harus melahirkan di sini!"
"Melahirkan?" gantian papa Andin terbelalak heran
"Melahirkan apa?"Papa Kalfi mengangkat telunjuknya, menuding Andin yang sedang menunduk bingung dan geram.
"Tanyakan pada anak gadismu. Tanyakan apa yang telah mereka lakukan! Mereka harus menikah dulu! Pernikahan mereka harus dipercepat. Sesudah anak itu lahir, baru mereka boleh bercerai kembali!

"Sekarang baik Andin maupun papanya menatap papa Kalfi dengan bingung
"Anak? Anak siapa? Siapa yang hamil?"
"Anak mereka! Cucu kita!"
"Hah???" papa Andin berpaling kepada anaknya dengan kilatan amarah menggelegak dimatanya.
"Kau dustai papa, Andin!" Andin membalas tatapan papanya dengan bingung. Lalu dengan enggan papanya menoleh kepada rekannya
"Maafkan Aku, Pak Rahmat. Aku benar-benar 'ndak tau apa-apa. Andin mengatakan putramu impoten..."
"Dusta!" geram papa Kalfi sengit "Anakku sehat!"
"Andin bilang, Kalfi memerlukan pengobatan. Teman Andin tau tempat pengobatan alternatif di Bandung. Karena itu Andin akan segera kembali ke Bandung sekaligus menyelesaikan tugas akhirnya. Sebelum itu mungkin sebaiknya mereka bertunangan saja dulu. Nanti setelah Kalfi sembuh dan Andin lulus barulah mereka kita nikahkan"

Kalfi yang sejak tadi menunduk dalam-dalam di sisi papanya mengangkat wajahnya dengan terkejut. Matanya bertemu dengan mata Andin yang sedang menatapnya. Mereka saling pandang dan tiba-tiba saja tawa mereka meledak.
"Mengapa kalian tertawa? Permainan apa sebenarnya ini Kalfi?"
"Sebenarnya bukan permainan, papa" sahut Kalfi tersenyum lega
"Hanya semacam sandiwara untuk mencegah niat papa membatalkan pernikahan kami. Salahnya kami menyusun rencana sendiri-sendiri sehingga sandiwaranya jadi berantakan"

***

Tatkala Kalfi mengantar Andin ke stasiun Gambir, Argo Gede kereta malam yang akan membawa Andin kembali ke Bandung, Kalfi masih sempat mengajukan pertanyaan yang sudah lama membebani pikirannya kepada tunangannya.
"Andin, cerita tentang lelaki baik yang nungguin elu di Bandung itu, juga termasuk dalam sandiwara elu bukan?" Andin tertawa geli.
"Tentu dong sayang" katanya lembut
"Apa elu pikir bisa dikatakan laki-laki baik jika senantiasa berbohong dan berusaha menyakiti perasaan hanya untuk memancing kecemburuan?"
Kalfi tersenyum lega dan menggenggam jemari Andin dengan mesra.
"Tapi darimana elu bisa tau kalo gue impoten, kita kan gak pernah nyoba untuk...." cetus Kalfi dengan ekspresi serius yang membuat Andin tertegun seperpecahan detik, dan detik berikut tinju kecilnya bersarang telak di bahu Kalfi sehingga Kalfi gak sempat melanjutkan kalimatnya, berganti dengan derai tawa.
"Nah, elu tau darimana gue hamil? Kok bisa yakin gue hamilnya sama elu bukan sama yang di Bandung" tangkis Andin gak mau kalah.
"Karena ternyata menurut Andin dia bukan laki-laki yang baik, setidaknya gak sebaik gue. Kan Andin yang bilang barusan" ucap Kalfi dan dengan gesit menangkap tangan Andin yang siap menyarangkan tinju keduanya. Kalfi menarik lembut tangan Andin dan melingkarkan pelukannya di bahu Andin.
"Insya Allah, gue gak bakal nyakitin elu, Andin sayang" bisiknya lirih, penuh perasaan. Andin menatap matanya mencoba menemukan kesungguhan di sana.

---o0o---

Written by Anita Lindawaty
Bandung 25 maret 2001
Cerita ini sepenuhnya adalah fiksi belaka, sumpe deh 120% fiksi kok...

No comments:

Post a Comment